MENCETAK GOL KE GAWANG SENDIRI,
(Sebuah Ilustrasi Pemberian Gelar Tersangka Kepada Ahok)
Oleh : Ferdinand Hutahaean
RUMAH AMANAH RAKYAT
Pasca Ahok ditetapkan sebagai tersangka penistaan agama oleh Polri, situasi ditengah publik mengalami perubahan. Kesepakatan para penulis skenario bersama para aktor dan aktris lakon drama bertajuk tersangka itu dibumbui dengan pernyataan-pernyataan yang memojokkan para penuntut penegakan hukum dan para pencari keadilan.
Ada 2 hal yang sangat mengganggu rasa keadilan menyikapi bergulirnya episode baru drama bertajuk tersangka ini.
Pertama, seolah pemberian gelar tersangka itu telah menyelesaikan proses hukum kepada Ahok sehingga publik tidak boleh lagi unjuk rasa dan harus diam. Kedua, jika masih melakukan unjuk rasa maka para demonstran adalah separatis atau pemecah belah NKRI.
Dua hal tersebut sangat mengganggu bahkan membuat nalar menjadi frustasi melihat sikap rejim ini. Begitu mudahnya menganggab proses hukum telah memenuhi rasa keadilan pendemo dan begitu mudahnya menuduh yang akan demo itu adalah separatis pemecah belah NKRI. Apa bedanya rejim ini dengan kaum radikal intoleran yang begitu mudah mencap pihak lain yang tidak sama dengan mereka sebagai musuh dan halal darahnya?
Perbedaan adalah tentu hal wajar dalam ruang demokrasi. Perbedaan persepsi juga tentu jamak terjadi dalam penegakan hukum. Namun diatas perbedaan itu semua ada hal yang mengikat yaitu persamaan perlakuan didepan hukum. Yurisprudensi tentang kasus Ahok ini sudah banyak, dan semua tersangka ditahan dalam masa penyidikan dan hakim pun menjatuhkan vonis bersalah kepada para terdakwa. Namun perlakuan penyidik itu kemudian berbeda perlakuan terhadap Ahok yang juga menghadapi ancaman yang sama dan pasal yang sama dalam KUHP bahkan sekarang ditambah dengan pasal 28 UU ITE. Dengan demikian, alasan apa yang membuat rejim ini berlaku berbeda dalam penegakan hukum yang sama?
Ditengah derasnya tuntutan publik yang sesungguhnya tidaklah berlebihan dan wajar, tersangkakan dan kemudian tahan Ahok. Itulah tuntutan normatif yang mengacu pada ketentuan yang berlaku dan berkaca pada kasus yang pernah ada. Namun saat ini, publik ditugasi mengawasi proses hukum Ahok meski publik tak punya kewenangan memeriksa proses hukum yang dilakukan penyidik sebagai bagian dari pengawasan.
Ibarat sebuah pertandingan sepak bola, publik kemudian disuruh menjadi penonton dipinggir lapangan. Penonton juga mengawasi jalannya pertandingan meski tidak bisa meniup peluit seperti wasit dan tidak bisa mengangkat bendera sebagai hakim garis. Penonton hanya bisa teriak dari pinggir lapangan, bahkan bisa mencaci maki sekerasnya terhadap wasit maupun pemain namun itu tidak akan merubah apapun yang terjadi dilapangan. Sekalipun ada rekayasa pura-pura mencetak gol kegawang sendiri seperti pemberian gelar tersangka itu, penonton tidak bisa merubah apapun yang terjadi.
Ya.. pura-pura mencetak gol ke gawang sendiri, itulah yang terjadi atas pemberian gelar tersangka tersebut. Mencetak gol ke gawang sendiri untuk menghindari lawan berat dibabak selanjutnya kemudian masuk final dan menjadi juara. Selamat… Ahok akan jadi juara setelah mencetak gol kegawang sendiri.
Silahkan penonton teriak dari pinggir lapangan, namun itu tidak akan merubah hasil pertandingan kecuali penonton merangsek masuk lapangan dan membubarkan pertandingan yang yang menghianati azas fair play.***