Oleh Dian Anggraeni Umar
Pemerintah akan memberlakukan pemblokiran akun social media yang bernada SARA, hinaan terhadap Pemerintah, dll mulai tgl 27 November ini.
Di saat komunikasi digital sudah menjadi ‘life blood’ sebagian besar publik di Indonesia, namun para penggunanya belum sepenuhnya paham bagaimana berkomunikasi secara etis di dunia maya. Ini dikarenakan masih minimnya edukasi tentang netiquette (etika di internet).
Disisi yang lain pola komunikasi pemerintah pun masih bersifat satu arah, padahal kita sudah di era digital dimana pola komunikasi sdh berubah menjadi interaksi atau dialog. Solusi Pemerintah hanya sebatas dengan memblokir akun, dan diharapkan ada efek jera bagi para pelakunya. Saya tidak begitu yakin kebijakan ini akan membuat para netizen jera, karena the don’t effect’ reverse phychological effect selalu berlaku, orang semakin dilarang malah akan semakin memberontak/menentang.
Pengguna social media di Indonesia sudah mencapai 129,2 juta berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII 2016)
Berapa banyak tim yang akan diterjunkan hanya untuk memonitor dan memblokir akun-akun tersebut? Tentunya akan menjadi pekerjaan yang sangat melelahkan.
Teknologi sudah digital namun banyak pihak yang masih belum berpikir digital, masih menggunakan pendekatan-pedekatan tradisional. Saya kira sudah waktunya pemerintah bertransformasi sebagai digital thinker, mulai banyak melalukan interaksi dan meningkatkan partisipasi netizen, secara kreatif mengembangkan konten digital, dan mengedukasi publik dengan memperbanyak literasi berkomunikasi digital daripada hanya sekadar memberikan solusi bersifat ‘ancaman’ dengan memblokir akun-akun publik di social media. Sekian.
Dian Anggraeni Umar, pakar komunikasi