JAKARTASATU – GLOBAL FUTURE INSTITUTE (GFI) DAN VOX MUDA SELENGGARAKAN DISKUSI TERBATAS TENTANG AKTUALISASI POLITIK LUAR NEGERI RI BEBAS-AKTIF.
Acara akan berlangsung Senin 5 Desember 2016 pukul 13.00 – 17.00, Global Future Institute dan beberapa mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Nasional yang tergabung dalam media nasional Vox Muda dotcom akan menggelar Diskusi terbatas para ahli dan pejabat senior berbagai kementerian, dengan tema: MEMBANGUN STRATEGI PERIMBANGAN KEKUATAN DALAM RANGKA MENGAKTUALISASIKAN KEMBALI POLITIK LUAR NEGERI RI YANG BEBAS DAN AKTIF.
Beberapa narasumber dan peserta aktif yang sudah menyatakan kesediaannya untuk hadir dalam diskusi terbatas yang akan diselenggarakan di Wisma Daria, Kebayoran-Baru Jakarta selatan antara lain:
- Leonard Felix Hutapea, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan (BPPK) kawasan Amerika Serikat-Eropa, Kementerian Luar Negeri RI.
- Brigjen Sunaryo, Direktur Kerjasama Internasional, Kementerian Pertahanan RI.
- Basilio Araujo, Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Kemenko Kemaritiman RI.
- June S Syarief, Kepala Seksi Afrika, Eropa, dan Rusia, Kementerian Perdagangan RI.
- Desmon Satria Andrian, Pengkaji politik luar negeri RI kawasan Afrika, dari Museum Konferensi Asia-Afrika, Bandung.
- Nurachman Oerip, mantan Duta Besar RI untuk Rusia dan Kamboja.
- Gusfiabri Sumowigeno, Pengkaji Ekonomi-Politik, dari Indonesian Agency for Outbound Investment Development.
- Faizal Risky, Pemimpin Redaksi Aktual News Network.
Selain itu akan ikut memberikan sumbang saran pemikiran dan gagasan terkait Aktualisasi Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif antara lain:
- Faris Risky, Ketua Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia(GMNI).
- Perwakilan dari Yayasan Anak Bung Karno.
- Perwakilan Himpunan Mahasiwa Hubungan Internasional (HIMAHI) Se Jakarta-Bogor, Tanggerang dan Bekasi.
- Perwakilan dari Fakultas Hukum Universitas Borobudur.
- Nugroho Prasetyo, pegian sosial-politik.
Ada beberapa isu yang akan dibahas seperti perkembangan politik internasional di kawasan Asia Pasifik, Timur-Tengah, Semenanjung Korea, Afrika Utara, Eropa Barat dan Eropa Timur, dan barang tentu, Amerika Serikat dan Amerika Latin. Maupun dalam menyikapi berbagai isu global seperti krisis Suriah, Ketegangan di Irak dan Turki, Kemandirian Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebagai forum dan penyalur aspirasi negara-negara berpenduduk mayoritas Islam, Ketegangan antara Amerika Serikat-Uni Eropa dalam krisis Cremea dan sebagainya.
Selain itu terkait kerjasama internasional bidang pertahanan, akan dibahas juga mengenai landasan politis dan strategis dalam membangun kerjasama dengan negara-negara lain, khususnya terkait peralatan militer atau alat utama sistem persenjataan (alutsista). Agar Indonesia tidak condong ke salah satu blok atau orbit pengaruh negara-negara yang terlibat dalam persaingan global dewasa ini, seraya tetap menjaga kemandirian nasional pemerintah Indonesia dalam pentas internasional.
Mengapa GFI mengangkat tema tersebut? Beberapa waktu lalu, menyusul berakhirnya US-ASEAN Summit di California, Amerika Serikat belum lama berselang, nampaknya ada tekanan yang cukup kuat baik dari Washington maupun dari dalam negeri kita sendiri, agar Indonesia dan ASEAN lebih berkiblat kepada Amerika dan blok Uni Eropa dibandingkan Cina, Rusia dan India. Sehingga sempat ada desakan kuat kepada pemerintah Indonesia agar ASEAN Dialog Partnership dengan Cina, Rusia dan India, dikurangi intensitasnya cukup dua tahun sekali, atau bahkan jika dimungkinkan, ditiadakan sama-sekali.
Jika Indonesia menyerah terhadap desakan dari Amerika dan blok Barat, maka bisa jelas ini akan mengancam Netralitas ASEAN dan pelaksanaan Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif. Namun, lepas dari trend yang mengkhwatirkan tersebut, hal ini membuktikan bahwa pergeseran pesaingan global antar negara-negara adikuasai pada kenyataannya memang sudah beralih ke kawasan Asia-Pasifik dan utamanya Asia Tenggara.
Kedua, pula hal ini menggambarkan dengan terang-benderang bahwa Amerika Serika dan blok Barat yang tergabung dalam Uni Eropa, mulai menaruh kekhawatiran yang cukup besar bahwa persekutuan strategis Cina-Rusia, ditambah lagi India yang bersama-sama dengan Brazil telah menjalin persekutuan strategis dengan Cina dan Rusia, pada perkembangannya akan semakin menjalin kerjasama-kerjasama strategis yang semakin solid dengan ASEAN sebagai mitra strategis.
Bagi Indonesia, yang pada April 1955 memotori terbentuknya Solidaritas bangsa-bangsa di kawasan Asia-Afrika melalui terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika di Bandung, maupun Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok di Beograd pada 1961, sepertinya harus kembali kepada konsepsi Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif. Karena untuk memotori penyusunan Strategi Perimbangan di Asia Tenggara maupun dengan kawasan-kawasan lainnya, menyusul bergesernya persaingan global negara-negara adikuasa di Asia Tenggara, para stakeholders kebijakan luar negeri RI harus dijiwai oleh Dasa Sila Bandung 1955 dan komitmen Gerakan Non Blok 1961.
Bagi GFI dan Vox Muda, ada tren mengkhawatirkan yang kiranya perlu mendapat perhatian para stakeholders kebijakan luar negeri. Yaitu tren ke arah skema Kutub Tunggal alias Unipolar yang dimotori oleh AS dan Uni Eropa. Sehingga sudah saatnya bagi para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI, khususnya Kementerian Luar Negeri, untuk menjabarkan konsepsi Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif dengan didasari gagasan untuk membendung dan menetralisasikan skema Uni Polar AS dan Uni Eropa tersebut.| KAR/Rls