Melalui peradilan Ahok pagi ini, jejak-jejak kaukus politik yang selama ini main di belakang layar, mulai terpetakan karena harus muncul ke permukan.
Ketika Ahok memunculkan Trimulja D Soerjadi sebagai salah satu pengacaranya, berarti bagi kubu Ahok memang dipandang bakal all out, sehingga harus mengeluarkan senjata pamungkasnya. Beliau memang sudah teruji reputasinya sebagai pengacara yang membela pemberangusan pers di masa orde baru. Sehingga reputasi dan kredibilitas beliau bagus di mata para wartawan pro kebebasan pers, termasuk saya.
Tapi menangani kasus ini, saya khawatir beliau akan kehilangan “Tajinya.” Karena dimensi kasusnya berbeda sama sekali. Kelemahan pegiat HAM termasuk di jajaran pengacara memang itu. Selalu melihat segala hal melalui isu politik tinggal. Single Issue Politics. Yaitu HAM. Tapi ya itu hak beliau sih. Sah sah saja.
Dengan berbondong bondongnya puluhan pengacara membela Ahok, malah memberi sinyal betapa rapuhnya kasus Ahok. Kalau tidak, mending turunkan tiga pengacara andalan sudah cukup. Toh membela kasus perkara yang penting kan kualitas bukan kwantitas.
Kalau dipikir-pikir, nangisnya Ahok ini malah kontra produktif. kalau tujuannya memang mau akting lho ya. Tapi bagi orang orang yang jujur, nangis itu bisa diartikan banyak hal. Orang sedih, orang menyesal, atau bisa juga orang marah dan kesal tapi nggak berdaya dan harus ke siapa marahnya.
Dengan berbondong bondongnya puluhan pengacara membela Ahok, malah memberi sinyal betapa rapuhnya kasus Ahok. Kalau tidak, mending turunkan tiga pengacara andalan sudah cukup. Toh membela kasus perkara yang penting kan kualitas bukan kwantitas.
Hendrajit, Executive Director at The Global Future Institute