Sidang kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sudah memasuki fase kedua, dengan agenda tanggapan jaksa atas nota keberatan terdakwa dan penasihat hukum.
Sebagian masyarakat mulai meramal nasib Ahok ke depan, apakah bakal bebas atau justru harus mencicipi sempitnya hidup di bui sekaligus melupakan jabatan gubernur.
Menyandang status terdakwa, jika sesuai peraturan, Ahok seharusnya diberhentikan sementara dari jabatannya. Namun, menurut kabar, surat pemberhentiannya masih diproses.
Jika melihat sejumlah kasus penistaan sebelumnya, mayoritas terdakwa sangat sulit berkelit dari belitan kasus. Berdasarkan data dari Human Rights Watch (HRW), sejak Era Reformasi, terdapat 130 kasus penodaan agama yang telah masuk ke pengadilan dan telah divonis bersalah.
Dari data sebanyak itu, hanya segelintir yang lolos, misalnya kasus dugaan penodaaan agama yang dilakukan Pendeta Moses Alegesan dari Medan. Moses saat itu dituduh menistakan agama Hindu etnis Tamil. Dia divonis bebas karena apa yang dituduhkan kepadanya, yaitu menerjemahkan kitab agama Hindu, dinilai bukan sebuah penodaan.
Jika melihat data di atas, Ahok hanya memiliki kemunginkan sangat kecil untuk lolos, terlebih jika melihat tekanan dari publik. Hukum memang seharusnya tidak dikontrol oleh stigma yang didisain oleh masyarakat, tetapi berdiri tegak di neraca keadilan.
Akan tetapi, faktanya, opini yang dijejalkan ke benak publik sangat efektif mempengaruhi gerak para penegak hukum serta putusan para pengadil.
Apabila dibandingkan dengan ocehan Apollinaris Darmawan, misalnya, Ahok tentu tidak ada apa-apanya. Apollinaris secara sengaja dan sadar serta bertubi-tubi dalam akun Twitternya menyebut Alquran kitab sampah dan Muhammad nabi palsu, tapi mengapa dari dulu sampai sekarang dia masih terus bertahan dengan ocehan-ocehannya. Malah, Ahok yang dijadikan target. Di sinilah bukti kuatnya desakan publik dapat mempengaruhi proses penegakan hukum dan keadilan.
Opini yang berkembang dapat menggiring kepada keyakinan. Kita tentu tidak berhadap para pengadil menistakan keadilan demi memenuhi desakan seperti ini. Akan tetapi, hukum di Indonesia seperti kita ketahui bersama belum bisa dilepaskan dari kepentingan politik dan sosial.
Demo 212 sangat efektif membuat aparat keamanan pusing kepala dan menebar ketakutan bagi sebagian orang, belum lagi demo tandingan. Ini adalah tekanan psikologis yang sangat berat dalam kasus Ahok.
Bukan tidak mungkin, Hakim akan melihat ini sebagai argumentasi untuk memenjarakan Ahok demi meredam gejolak yang berpotensi mengundang mudarat lebih besar.
Kita tentu sangat berharap semua warga negara diperlakukan adil di meja hukum, karena kasus tak terduga seperti ini bisa menimpa siapa saja. Terlalu sakit untuk diperlakukan tidak adil oleh siapa pun, apalagi para hakim yang seharusnya menjadi garda terakhir yang kepada mereka kita meminta keadilan.
Ahok dipenjara atau tidak tentu kita harus serahkan keputusannya kepada hakim. Akan tetapi, jika melihat tren kasus penistaan agama serta opini yang berkembang, sepertinya bui bakal menjadi masa depan Ahok.
Jika lolos pun, secara metaforis, Ahok tetap akan dipenjara oleh opini yang diciptakan lawan yang dikaitkan dengan kasus dan kebebasannya dari tuduhan. Sangat mungkin periode gubernur 2017-2022 tidak akan dijalani Ahok sebebas periode sebelumnya, oposisi bakal kian sengit. |RMN