Oleh Ferdinand Hutahaean
Menyusuri jalan-jalan di Ibu Kota Jakarta pada awal tahun 2017 ini semakin menarik. Memasuki kampung-kampung warga dan bertemu dengan sekelompok ibu-ibu yang sedang belanja di gerobak sayur keliling serta bercengkerama dengan sekelompok anak-anak muda di bawah sebatang pohon yang jadi tempat mangkalnya tukang ojek menjadi nuansa tersendiri diawal tahun ini.
Awal tahun yang justru memasuki masa pertengahan proses agenda politik pilkada DKI Jakarta dan tentu meningkatkan suhu politik karena menyisakan waktu yang tidak banyak lagi menuju 15 Pebruari 2017 hari yang ditetapkan KPU sebagai tanggal pemungutan suara Pilkada serentak.
Ada banyak hal yang kami temui diantara kelompok-kelompok masyarakat yang kami jumpai. Ada persamaan keinginan dan harapan yang sedikit pasrah atas situasi yang dihadapi. Beratnya beban hidup di Jakarta dan hampir setiap hari harus ketakutan dengan perasaan takut digusur menjadi salah satu keluh kesah dari sekian banyak keluhan rakyat yang kami dengar. Banyak beban, banyak masalah yang dihadapi ditambah dengan persoalan yang menyita perhatian publik yaitu kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok sang Gubernur DKI Jakarta Non Aktif. Semua itu menambah kebisingan ditengah publik yang sedang susah meski sekedar untuk bertahan secara ekonomi.
Dari antara sekian banyak masalah dan beban berat hidup di Jakarta tersebut, kami melihat secercah cahaya bersinar dibalik mata anak – anak muda yang tidak punya kesempatan mendapatkan pekerjaan dan menjadi tukang ojek. Kami menemukan segenggam harapan dibalik mata yang berkaca-kaca menahan air mata dari ibu-ibu penjual sayur yang mendorong gerobaknya. Kesamaan harapan itu terucap dari antara keluh kesah yang tercurah.
“Pak.. tolong supaya nanti mas Agus menjadi Gubernur rakyat, bukan gubernur pengembang atau gubernur orang kaya saja.” (Mas Agus adalah saapan akrab mereka kepada AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono cagub DKI No. 1) Begitulah sepenggal kalimat yang terlontar dari ibu-ibu dan anak-anak muda tersebut. Ada kesamaan harapan menginginkan Gubernur baru. Sambil berjanji mereka akan memilih AHY pada 15 Pebruari 2017 nanti, mereka begitu bahagianya menerima kaos bergambar Agus Silvy yang kami berikan.
Perjalanan awal tahun yang terus kami lakukan juga bertemu dengan kalangan ekonomi menengah keatas. Mereka juga punya harapan yang sama dengan ibu-ibu dan anak-anak muda tadi. Sambil bercerita bahwa sekarang tempat usahanya tidak bisa lagi digunakan sebagai tempat usaha akibat kebijakan yang dibuat Gubernur DKI tentang zonasi jalan, tata ruang dan tata wilayah. Ditengah himpitan ekonomi karena usaha yang tidak bertumbuh akibat pelambatan pertumbuhan ekonomi di Jakarta, mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk menyewa tempat usaha. Akhirnya banyak yang harus berhenti berusaha akibat kebijakan yang tidak pro rakyat.
Ternyata Ahok sudah tidak diinginkan oleh publik untuk memimpin Jakarta. Hasil survay juga mengindikasikan hal yang sama. Bahkan diatas 50% menginginkan Gubernur baru. Tahun baru Gubernur baru, begitulah kira-kira mereka mengucapkan harapannya. Dengan perasaan bangga mengenakan kaos AHY pemberian kami, mereka kemudian menitipkan pesan agar AHY menjadi Gubernur Rakyat dan bukan Gubernur pengembang. Mereka tampak kesal dengan Gubernur lama dan dibalik kekesalan itu ada harapan baru bernama Agus Harimurti Yudhoyono.
Jakarta memang adalah semestinya untuk rakyat, Jakarta adalah milik rakyat dan bukan milik sekelompok golongan saja atau milik orang asing. Kebijakan Gubernur Ahok di Jakarta memang layak dipertanyakan karena memarginalkan kaum miskin dan menggusur untuk kepentingan kaum mampu.
Menata Jakarta tidak harus menggusur. Mengurus Jakarta tidak perlu dengan caci maki terhadap rakyat. Membuat Jakarta baik tidak perlu harus bermusuhan dengan anggota dewan apalagi dengan rakyat. Bangunlah Jakarta dengan manusiawi karena Jakarta adalah untuk Rakyat.
Jakarta, 04 Januari 2017