Oleh  Ferdinand Hutahaean

Tahun 2017 sepertinya akan menjadi tahun kematian bagi kebebasan berpendapat. Tahun yang masih hitungan hari ini telah membunyikan lonceng kematian terhadap kebebasan berbicara dan kebebasan menulis di media. Adalah Presiden Jokowi yang terlihat sangat resah dengan atmosfir media sosial dan media-media yang selama ini dikenal dengan media online.

Memang jika kita cermati di media sosial setiap hari terjadi perlakuan-perlakuan tidak patut terjadi. Politik telah menjadikan media sosial dan media sebagai sarana yang efektif untuk membunuh dan menghabisi karakter maupun nama baik seseorang yang menjadi lawan politik.

Ironi kemudian terjadi ketika penegakan hukum berlaku tidak adil dalam menindak penyeberan fitnah dan pembunuhan karakter di media sosial maupun media.

Pemerintah yang memegang otoritas penindakan, hanya bereaksi menutup media online yang kritis kepada pemerintah dengan tuduhan menebar konten ilegal atau hoax. Namun pemerintah tidak menutup media on line yang menyerang pihak yang dianggab sebagai lawan politik pemerintah. Misalnya pemerintah tidak serta merta menutup media online yang menuduh Presiden RI Ke 6 Soesilo Bambang Yudhoyono atau SBY sebagai pihak yang mendanai Aksi Bela Islam dan menuduh SBY dibalik pelaku teror bom yang ditangkap di Bekasi.
 Mengapa hal tersebut terjadi? Hanya pemerintah yang tahu dan kita hanya bisa menduga-duga dan dugaan itu tidak perlu kita tuliskan dalam artikel ini karena kuatir dituding menyebar hoax kemudian ditangkap oleh polisi.

Mengapa Presiden Jokowi terlihat begitu resah menyaksikan kejadian-kejadian ditengah publik belakangan ini? Bahkan Presiden terlihat begitu gusar ketika sebuah buku karya Bambang Tri dengan Judul Jokowi Undercover beredar ditengah publik. Penulisnya kini bahkan menjadi tersangka dan ditahan oleh Polisi. Mengapa menulis buku kini menjadi terancam?

Mengapa Presiden merasa harus menegaskan sikap dengan meminta penindakan hukum yang tegas dan keras atas penyeberan berita atau informasi yang dianggab hoax atau ilegal oleh pemerintah? Padahal ukuran berita itu sebuah hoax tidaklah jelas dan hanya menjadi domain persepsi pemerintah saja.
Misalnya pembuktian buku Jokowi Undercover sebagai hoax juga tidak jelas, Polri menuding penulisnya tidak punya kemampuan riset, itukah standarnya?

Saya tidak bisa membayangkan jika setiap sikap kritis dan kritik kepada pemerintah dianggab menebar hoax dan harus dipenjarakan.

Kita tahu ketika isu serbuan tenaga kerja cina yang deras dibicarakan di media dan media sosial ditanggapi oleh Presiden dengan mengambil langkah hukum terhadap siapapun yang dianggab menebar hoax.
Bangsa ini kemudian akan berubah menjadi negara yang dipimpin rejim fasis. Setiap sikap kritis akan dituding hoax dan harus dipenjara.

Perlukah Presiden harus begitu reaktif terhadap isu-isu yang dibahas di media maupun media sosial? Perlukan reaksi itu ditunjukkan dengan sikap otoriter menutup media yang dianggab berseberangan politik? Perlukah Presiden juga memberikan reaksi dengan memerintahkan polisi menindak dengan tegas dan keras? Bukankah siapa saja termasuk Presiden punya hak jawab jika merasa difitnah di media? Bukankah jika hak jawab ternyata tidak memuaskan kemudian bisa mengambil langkah hukum?

Mekanisme penegakan hukum tentu menjadi pilihan baik dalam masalah seperti ini.

Presiden Jokowi bisa mendatangi kepolisian untuk melaporkan fitnah atau mengutus kuasa hukumnya. Kita masih ingat bagaimana SBY mendatangi penegak hukum dan melaporkan fitnah kepada dirinya dan juga Soeharto yang melaporkan majalah Times yang dituduh memfitnah. Mereka para mantan presiden itu tidak kemudian mereaksi kondisi dengan menutup medianya, tapi berlaku bijak dengan memberi pelajaran lewat jalur hukum. Ini contoh yang bisa ditiru oleh Presiden Jokowi dan tidak membiarkan jajarannya bertindak berlebihan dengan menutup situs media secara paksa dan memerintahkan Polri menindak secara tegas dan keras karena itu akan menimbulkan ketakutan bagi masyarakat.

Apa yang dilakukan dan direncanakan oleh pemerintah dalam mengontrol media sosial dan media adalah satu hal yang sesungguhnya bisa dianggab baik.

Namun sesuatu yang baik itu akhirnya punah karena pemerintah berlaku tidak adil dalam implementasi dilapangan. Pemerintah contohnya sangat reaktif dan menutup paksa media online yang memang mengambil sikap kritis dan berseberangan politik dengan pemerintah. Namun pemerintah menjadi amnesia atau pura-pura tidak tahu keberadaan media online yang memfitnah pihak lain yang dianggab lawan politik rejim berkuasa.
Media online penebar fitnah terhadap lawan politik rejim berkuasa, dibiarkan tumbuh subur dan tetap hidup sembari terus memfitnah.

Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi sah saja menertibkan media sosial dan media online.

Tapi penertiban itu harus adil dan berlaku standard yang sama terhadap semua media. Tidak boleh ada standar ganda karena itu akan mencerminkan ketakutan presiden terhadap kritik dan bentuk dari sebuah sikap yang anti kritik. Jika demikian, maka rejim ini akan dicap sebagai rejim fasis yang memenjarakan kaum kritis dan membungkam pemikiran kritis demi mempertahankan kekuasaan. Ada baiknya presiden bersikap lebih bijak dalam mereaksi serangan-serangan kaum oposan kepada rejimnya. Dan kepada semua pihak agar menggunakan media dengan bijaksana dan bertanggung jawab.

Jakarta, 05 Januari 2017