Ferdinand Hutahaean
Oleh  Ferdinand Hutahaean

Perjalan politik seseorang tidak ada yang bisa tebak dan duga-duga. Demikian jugalah tentang perjalanan karir politik para calon Gubernur DKI Jakarta yang saat ini sedang berlaga diajang kontestasi Pilkada yang akan dilangsungkan pada tanggal 15 Pebruari 2017 mendatang. Agenda Pilkada serentak yang akan sangat menentukan nasib masa depan bangsa kedepan. Karena kesalahan memilih akan berakibat kepada nasib bangsa.

Pertarungan politik dalam Pilkada DKI Jakarta semakin hari semakin panas. Semakin mendekati hari pemilihan, semakin ganas dan semakin pula menanggalkan etika dan norma-norma kepatutan dalam mendukung calon masing-masing.

Adalah Anggawira, tim pemenangan Anies Sandi yang melontarkan pernyataan menyerang posisi Agus Harimurti Yudhoyono dengan serangan yang lucu karena yang bersangkutan tidak memahami secara utuh tentang dinasti politik. Anggawira seolah ingin menyampaikan pesan kepublik bahwa politik dinasti amatlah sangat berbahaya hingga mengambil contoh kasus mantan Gubernur Banten Ratu Atut dan Bupati Kletingan yang baru tertangkap selingkuh. Bahkan dengan gagah Anggawira menyatakan Politik Dinasti pasti mengabaikan kompetensi dan rekam jejak. Sesuatu yang tidak pasti tapi dibuat seolah pasti.

Apa yang disampaikan oleh Anggawira tersebut sangatlah jauh berbeda apalagi membandingkan Ratu Atut dan Bupati Kletingan dengan AHY. Mungkin Anggawira kurang paham tentang makna dinasti politik yang sesungguhnya. AHY adalah Putera mantan Presiden yang sudah tidak menjabat. Mungkin andai SBY ayahanda AHY masih menjabat sebagai presiden, pendapat Anggawira tersebut bisa dibenarkan. Namun saat ini SBY sudah tidak lagi menjabat presiden atau jabatan apapun dalam negara ini, sehingga tidak layak SBY dan AHY disebut membangun dinasti politik.

Jika mengikuti logika Anggawira tersebut, maka semua anak pejabat atau anak elit politik di negara ini tidak boleh terjun kedunia politik. Sungguh bertolak belakang dengan kalimat Anggawira yang bicara demokrasi. Apakah karena seseorang anak mantan pejabat atau anak elit politik maka hak politiknya harus dimatikan atas nama melawan dinasti politik?

Dinasti Politik vs Politik Kutu Loncat

Jika melihat potensi bahaya, jauh lebih berbahaya politisi kutu loncat. Kita tahu Anis Baswedan dulu bahkan mengejek gaya blusukan Jokowi dan ikut konvensi capres. Namun setelah mengejek gaya blusukan Jokowi kemudian Anis loncat menjadi pendukung Jokowi pada pilpres 2014. Pada saat pilpres, Anis dengan lantang menyerang Prabowo yang menjadi kompetitor Jokowi. Pasca pilpres, Anis kemudian menjadi menteri pendidikan namun karena kinerja yang dianggab buruk maka Anis dipecat dari posisinya sebagai menteri. Dan pada saat agenda Pilkada DKI bergulir, Anis Baswedan malah maju lewat Partai Gerindra yang Ketua Umumnya Prabowo Subianto orang yang pernah diserangnya secara politiknya.

Sungguh sikap loncat-loncat itulah sikap seseorang yang tidak punya prinsip dalam berpolitik dan cenderung terkesan cuma mengejar jabatan dan kekuasaan dengan mengabaikan norma kepatutan.

Dengan begitu sungguh lebih buruk dan lebih berbahaya politik kutu loncat daripada dinasti politik.

Jakarta, 09 Januari 2017