Oleh : Ferdinand Hutahaean
Jakarta adalah miniatur Indonesia. Jakarta setiap harinya dihuni lebih dari 10 juta jiwa dari semua suku yang ada di Indonesia, semua RAS dan semua agama serta semua golongan kehidupan dari paling miskin hingga paling kaya. Jakarta jugalah yang menenggelamkan semua berita tentang Pilkada serentak lebih dari 100 daerah pada bulan Februari yang akan datang. Pilkada Gubernur Jakarta telah membuat pilkada yang lain seolah tidak ada. Hingar bingar Pilkada Jakarta setiap hari mengisi ruang media tanpa henti. Bukan hanya itu, bahkan rejim yang sedang berkuasapun tampaknya mencurahkan seluruh daya upayanya hanya untuk Pilkada Gubernur Jakarta.
3 poros kekuatan Politik nasional bertarung didalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta saat ini. Poros Teuku Umar yang dimotori Megawati Presiden RI Ke 5 meski hanya 3 tahun menjabat itupun karena terjadi pelengseran Presiden Gus Dur saat itu, Poros Hambalang yang dimotori Prabowo sang capres yang tak kunjung jadi Presiden dan terakhir Poros Cikeas yang dimotori SBY Presiden RI Ke 6 yang sukses berkuasa 2 periode atau 10 tahun. Ketiga poros kekuatan inilah poros nyata kekuatan politik di Indonesia. Masing-masing dengan segala kemampuan untuk memenangkan pertarungan.
Adalah poros Teuku Umar yang mendukung calon petahana dan sepertinya patut diduga dapat dukungan keberpihakan dari rejim penguasa yang kebetulan dipimpin oleh Jokowi sang Petugas Partai PDIP yang kini menjadi Presiden. Dan keberpihakan inilah yang membuat pertarungan Pilkada DKI Jakarta sangat mencekam dan menakutkan bagi para pecinta demokrasi, karena sangat mungkin kekuasaan akan menggunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk berlaku curang.Sehingga suara rakyat akan dimanipulasi dan dibelokkan.
Saya ingin mengajak kita semua mencoba mengenal titik krusial kecurangan dalam sebuah pilkada. Ini sangat penting untuk mengetahuinya sehingga suara rakyat tidak dimanipulasi oleh rejim yang berkuasa.
Pertama, mobilisasi pemilih siluman kedaerah-daerah cluster atau tertutup seperti apartemen, komplek perumahan dan wilayah tertentu yang disinyalir pendukung petahana. Hal ini sangat mungkin terjadi untuk penggelembungan jumlah pemilih yang seharusnya tidak dapat hak suara.
Kedua, money politics atau politik uang. Kemampuan keuangan petahana dan dukungan para konglomerat taipan serta dukungan penguasa sangat mungkin menggelontorkan uang untuk mempengaruhi masyarakat pemilih. Ini pola lama tapi masih efektif karena kemiskinan masih terus tinggi jumlahnya.
Ketiga, tekanan struktural dari penguasa kepada jajarannya untuk memilih calon petahana, karena hanya penguasalah yang punya jalur komando pada lembaga-lembaga negara.
Keempat, pengiriman kertas suara yang sengaja dirusak atau dicoblos sembarang ke daerah-daerah atau TPS yang dipetakan sebagai kantong-kantong suara lawan politik petahana. Surat suara rusak tentu bisa membatalkan suara rakyat maka hilanglah suara rakyat dari demokrasi.
Kelima, penggantian kotak suara hasil TPS diperjalanan dari TPS menuju kelurahan atau kecamatan atau ke KPUD kota. Kotak suara ditukar dengan kotak suara dengan surat suara yang telah dicoblos sesuai keinginan petahana.
Keenam, kecurangan dalam sistem IT KPUD. Pola pertama hingga keenam ini akan diawali terlebih dahulu dengan membangun opini lewat survey. Cermati belakangan ini timbulnya lembaga survay yang merilis hasil berbeda dari mayoritas lembaga survay yang menempatkan Paslon No Urut 1 yaitu Agus Silvy pada urutan teratas.
Ketujuh, upaya terakhir menciptakan suasana kisruh sehingga pilkada batal dan penguasa menetapkan darurat sipil. Maka pemenang pilkada dari lawan politik penguasa tidak bisa menjabat sebagai Gubernur terpilih. Dilapangan hal ini sudah mulai terlihat tanda-tanda awalnya dengan adanya upaya membenturkan poros rakyat agama dengan poros rakyat budaya. Bukankah sudah mulai beredar spanduk yang provokatif membenturkan Islam dengan budaya Jawa yaitu wayang kulit yang disebut tidak syariah?
Pola kecurangan diatas harus diwaspai semua pihak terutama para kompetitor politik petahana. Rakyatpun harus diberikan pencerahan agar rakyat mengerti pola kecurangan yang akan terjadi sehingga rakyat waspada dan bisa turut serta mengawasi potensi kecurangan pilkada ini. Suara Rakyat adalah Suara Tuhan, itulah Demokrasi. Namun penguasa yang ingin melanggengkan kekuasaannya cenderung akan melakukan segala hal termasuk melakukan kecurangan bahkan kejahatan demokrasi demi sebuah kekuasaan.
Jakarta, 24 Januari 2017