Seiring dengan pesatnya teknologi informasi dan komunikasi, peran medsos didalam mewarnai kehidupan pers dan media massa di tanah air, tak terhindarkan dan tak terbendung lagi. Maka jangankan dalam mempengaruhi dinamika pemilukada di Jakarta Februari bahkan dalam Pilpres di Amerika Serikat, facebook dan twitter sangatlah berpengaruh sebagai sumber berita dan informasi.

Karena itu, peran medsos sebagai media inkonvensional sangatlah tidak otomatis baik atau buruk. “Medsos bisa berdampak positif bisa juga berdampak buruk,” demikian pandangan Satrio Arismunandar, salah seorang pemrakarsa Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Redaktur Senior Aktual News Network dalam seminar sehari yang diselenggarakan Lembaga Kaian Diskusi Aktivis Mahasiswa Universitas Borobudur (LKDAM) dan Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI) pada Senin 30 Januari 2017, di Pondok Bambu Jakarta Timur.

Dalam diskusi yang mengangkat tema Optimalisasi Peran Pers, Masyarakat, dan Mahasiswa Menangkal Efek Domino Penggunaan Medsos dalam Pemilukada 2017, Satrio yang pernah menjadi wartawan Harian Kompas tersebut menandaskan, mengingat wataknya yang bisa positif dan negatif, maka Medsos bisa diibaratkan “Pisau Bermata Dua.”

Lepas dari positif atau negatifnya, Satrio mengingatkan bahwa sekarang ini ada pergeseran dari yang dulunya masyarakat dikontrol media, sekarang ini justru media lah yang dikendalikan oleh khalayak atau audience. Menurut pria yang semasa mudanya aktif di berbagai organisasi intra dan ekstra kampus iu, sekarang dengan maraknya media berita online dengan segala macam jenis dan fokus pemberitaan yang aneka rupa baik dari media online maupun medos, masyarakat sekarang ini tidak hanya sekadar pengguna dan penerima informasi dan berita, melainkan masyarakta itu sendiri pun bisa menciptakan aneka isi berita dan informasi.

Di sinilah medsos seperti facebook, twitter, dan sebagainbya, kemudian memainkan peran penting. “Sekarang ini tren-nya malah terbalik. Justru media-media konvensional malah seringkali mengambil dari medos sebagai sumber berita dan informasi,” ungkap Satrio yang berhasil menggondol gelar doctor bidang filsafat tahun lalu.

Hanya saja Sastrio menyayangkan bahwa di tengah-tengah semakin pentingya medsos yang mana masyarakat saat ini jauh lebih menentukan daripada media, masyarakat pembaca kita justru tidak melek media dalam arti, masyarakat sama sekali tidak tahu bagaimana mekanisme kerja media massa, tidak tahu bagaimana prinsip kerja jurnalistik, dan masyarat pun tidak tahu bagaimana menentukan sebuah berita atau informasi itu faktual atau hanya sekadar fiksi belaka.

Maka dari itu Satrio menyarangkan agar perlu adanya program penelitian dan pelatihan tentang Literasi Media, yang mana tujuan utamanya adalah agar masyarakat melek media.

Bagi Satrio ini penting dan amat mendesak, karena medsos sejatinya sangat berpotensi menjadi media alternatif di tengah menurunnya kredibilitas beberapa media arus utama (media konvensional) karena sangat dipengaruhi oleh para pemilik modal  yang biasanya sekaligus juga merangkap sebagai politisi partai seperti Aburizal Bakri dan Surya Paloh, sekadar sebagai contoh.

Hendrajit, pengkaji Geopolitik dari Global Future Institute yang juga wartawan senior dan salah seorang deklarator AJI, mendukung gagasan Satrio untuk mengadakan program Literasi Media agar masyarakat melek media. Namun, hal harus didasari kerangka gagasan perlunya membangun Gerakan Sadar Geopolitik.

Menurut Hendrajit yang alumni Fisip Universitas Nasional dan salah seorang perintis berdirinya Tabloid Detik pada 1992 bersama Eros Djarot, saat ini media massa baik media konvensional, media online maupun medsos, sangat rawan untuk dijadikan alat perpanjangan tangan dari Proxy War baik antar kekuatan-kekuatan asing yang bermain di Indonesia, maupun Proxy War antara para komprador yang merupakan agen-agen lokal dari berbagai kepentingan asing yang bersaing di Indonesia.

Celakanya, menurut Hendrajit, media onlone yang pada hakekatnya bertumpu pada handphone dan smartphone, menjadi sasaran utama untuk dimanfaatkan sebagai alat Perang Perpanjangan tangan (Proxy War) antar berbagai korporasi asing, maupun para politisi-pengusaha di Indonesia.

Hendrajit juga mengingatkan forum pada satu fakta penting yang berkembang dewasa ini. Merujuk pada sebuah kajian yang diselenggarakan oleh Global Future Institute beberapa waktu lalu, beberapa pengusaha Cina telah membangun infrastruktur  komonunikasi dan informasi yang sangat gila-gilaan. Ini tentu saja perkembangan yang mengkhawatirkan, karena dengan begitu isi berita media massa kita yang aneka ragam jenisnya itu sangatlah rawan untuk dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan kalangan pengusaha asing, terutama Cina. Apalagi fakta bahwa kepemilikan saham-saham di bidang teknologi informasi, praktis sudah dikuasai oleh investor-investor Cina. Bahkan telekomunikasi pun sudah dikuasai asing.

“Ini sangat berbahaya, karena ketika informasi didayagunakan melalui smartphone dan handphone, sedangkan infrastruktur informasi dan komunikasi sudah dikuasai asing, bisa dibayanngkan betapa rawannya media massa kita saat ini untuk dikendalikan arah politik keredaksiannya,” begitu intisari pandangan Hendrajit yang pada akhir Desember lalu baru saja menerbitkan bukunya yang ketiga bertajuk Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru.

Menyadari fakta tersebut, lanjut Hendrajit, media massa Indonesia saat ini sangat rentan untuk dijadikan sarana Perang Asimetris  (Perang melalui sarana non-militer) untuk membentuk opini melalui infrastruktur informasi dan komunikasi yang mereka kuasai.

Celakanya, Hendrajit sangat gusar dengan lemahnya kesadaran geopolitik para pengelola dan awak media, sehingga dengan mudah dikendalikan sebagai sarana Perang Asimetris dari beberapa kepentingan koporasi asing baik dari negara-negara blok Barat (Amerika Serikat dan Eropa Barat), Jepang maupun Cina. Dan salah satu yang rawan dijadikan sasaran sarana Perang Asimetris, adalah media-media online.

Dalam amatan Hendrajit yang juga sangat aktif dan intensif sebagai pelaku medsos, terutama facebook, para pelaku medsos seringkali terpencing sebagai sumber informasi dan berita yang tidak faktual, gara-gara dipicu oleh penyebaran berita-berita dari beberapa media online yang identitas dan jatidirinya sama sekali tidak jelas. Tidak seperti halnya media-media konvensional yang jelas alamat dan asal usul kepemilikannya, maupun profil para awak medianya.

Pada akhirnya Hendrajit juga menghimbau para pemangku kepentingan media massa baik para pengelola media massa itu sendiri sebagai insane pers, masyarakat, mahasiswa, bahwa para pendukung dana dari media-media tersebut, termasuk online, ternyata merupakan para pelaku bisnis asing yang juga menguasai jaringan-jaringan yang membangun infrastruktur telekomunikasi di Indonesia.

Maka itu Hendrajit dan Satrio bersepakat bahwa saat ini bukan soal media konvensional/arus utama atau media altarnaatif, tapi yang penting apakah media massa Indonesia punya visi untuk membela kepentingan nasional NKRI atau tidak. Kalau para awak media baik cetak, elektronik, online maupun medsos punya visi membela kepentingan NKRI, maka media massa Indonesia akan kembali memulihkan kredibilitasnya sebagai sang juru warta yang terpercaya dan faktual. Sehingga mampu meluruskan distorsi-distorsi informasi yang terjadi saat ini. Inilah satu-satunya cara bagi media massa di Indonesia agar bisa menjadi elemen garis depan dalam menangkal Perang Asimetris yang dilancarkan negara-negara asing dan aseng. Bukannya malah jadi alat dan sarana Perang Asimetris asing dan aseng dalam melumpuhkan kedaulatan nasional Indonesia di bidang ideologi, politik-ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan. Jangan sampai secara sadar atau tidak sadar, para awak media justru menjadi unsur garis depan dalam merusak jiwa-jiwa bangsa.

Terkait dengan kerangka pandangan yang disampaikan Hendrajit, maka Satrio menyarangkan untuk jangan terlalu menyalahkan medsos. Karena pada kenyataannya, baik masyarakat maupun kalanan media massa kita itu sendiri, kerapkali justru menjadi sumber masalah. Kalau perilaku pengguna medsos seringkali terjebak pada penyebaran berita-berita yang tidak faktual, disebabkan karena masih belum menguasai seluk-beluk mekanisme kerja dan prinsip kerja media massa dan jurnalisme, maka kalangan awak media massa konvensional kerap menjadi sumber berita dan informasi yang tidak faktual, gara-gara secara sadar atau tidak sadar, telah menabrak etika jurnalistik seperti cover both side, verifikasi sumber informasi dan konfirmasi.

Selain itu Satrio juga menambahkan, disebabkan karena kuatnya pengaruh para pemilik media yang notabene merupakan politisi-pengusaha, media-media arus utama/konvensional cenderung membuat pemberitaan yang sesuai versi dan kepentingannnya si pemilik modal tersebut, meskipun secara faktual sesuai dengan prinsip kerja jurnalistik dan etika jurnalistik. “Inilah yang membuat pers kita yang hakikinya adalah media konvensional, seringkali juga tidak bisa dipercaya,” tandas Satrio.

Narasumber lain pada seminar tersebut, menghadirkan Syaiful Rahim, pakar komunikasi dari Univesitas Prof Dr Buya Hamka, dan Ray Agung MH, pengamat medsos. Ray Agung, sepakat dengan kedua narasumber sebelumnya, dan menambahkan memang kiprah kehadiran medsos memang tidak terbendung dan tidak terhindarkan lagi. Betapa tidak. Sekarang ini di Indonesia pengguna internet sebanyak 132,7 juta Dan 71 juta di antaranya, merupakan pengguna facebook.

Maka itu, senada dengan Satrio dan Hendrajit, masyarakat Indonesia harus pandai-pandai mengantisipasi pesatnya teknologi informasi tersebut, dan harus selektif baik sebagai pengguna maupun dalam mewartakan informasi/ berita di medsos. Ray mengakui bahwa peran medsos memang cukup dahsyat karena gara-gara medsos, presiden Tunisia dan presiden Mesir berhasil ditumbangkan.

Syaiful Rahim, seakan mempertajam paparan ketiga narasumber sebelumnya, berpandangna bahwa saat ini baik media massa konvensional maupun media online dan medsos, ada kecenderungan kuat untuk mewartakan realitas/kenyataan semu dibandingkan dalam mewartakan realitas/kenyataan yang sesungguhnya. |RED/RN/hdjt