Foto : Istimewa

Oleh Ferdinand Hutahaean

November 2004 pada pertemuan APEC Summit si Santiago, Chili, ketika saat itu SBY baru sebulan menjadi Presiden Republik Indonsia ke 6, pada saat SBY menjadi pembicara kunci dalam acara Bussines Confence, SBY tanpa diduga mendapat pertanyaan yang sesungguhnya diluar tema pertemuan. ​Salah satu peserta bertanya kepada SBY : “Indonesia pernah mengalami tragedi berdarah di tahun 1998, ada kerusuhan besar di Jakarta. Disitu banyak sekali kekerasan yang korbannya adalah etnis Tionghoa. Negara anda mendiskriminasi etnis Tionghoa. Dapatkah anda menjamin bahwa kekerasan seperti itu tidak terjadi lagi?”

SBY kemudian menjawab : ​”Ya, itu titik hitam dalam sejarah negeri kami, waktu itu situasinya amat sulit, sungguh chaotic. Saya bertekad untuk tidak terjadi lagi peristiwa seperti itu, saya akan pastikan pemerintahan yang saya pimpin mampu mengelola kemajukan dengan baik.” (Dikutip dari buku berjudul Awas segelintir orang bisa bikin Presiden salah).

SBY dengan tegas memberikan jaminan tekad bahwa tidak akan pernah membiarkan kerusuhan seperti 1998 terjadi dan berjanji akan mengelola kemajemukan dengn baik. ​Fakta kemudian menjawab tekad dan janji tersebut bahwa selama 10 tahun berlangsung penerintahan SBY kurun 2004 s.d 2014 Jakarta dan Indonesia tidak pernah terjadi kersuhan dan kekerasan etnis terhadap Cina atau yang disebut Tionghoa.​

Komiten tersebut terus berlangsung hingga pada puncaknya SBY menyelesaikan dan menuntaskan perangkat kehidupan bernegara yang masih bernuansa diskriminatif. ​SBY kemudian membuat UU Kewarganegaraan yang menghapus perbedaan antara Warga Negara Keturunan dengan Warga Negara Non Keturunan. Semangat Undang-undang tersebut adalah kesetaraan dan persamaan hak.​

Dan pada akhir jabatannya, ​SBY kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden yang intinya pencabutan kata Cina dang menggantinya dengan kata Tionghoa, yang bertujuan untuk memelihara semangat toleransi.​ Pada tahun 2014 juga SBY meresmikan Museum Tionghoa dan Museum Hakka dikawasan Taman Mini Indonesia Indah. SBY juga tercatat sebagai Dewan Penasehat Boao Forum for Asia yang berpusat di Hainan Tiongkok serta menjadi penasehat Chinesse Economic Summit sampai sekarang.

Sudah banyak sesungguhnya yang dilakukan oleh SBY pada 10 tahun periode jabatannya sebagai Presiden terhadap Etnis Tionghoa. ​Dengan demikian, masih pantaskah SBY disebut tidak memperhatikan etnis Tionghoa? Masih pantaskah SBY disebut anti Kebinekaan? Demikian juga dengan kalangan Islam, di masa SBY tidak ada Ulama dan Ormas Islam yang ditekan, tidak ada ulama yang dikriminalisasi, bahkan FPI yang dulu selalu disebut radikal terus dibina agar mencintai kebinekaan dan pancasila.​ SBY dalam kesehariannya tidak pernah melewatkan sholat dan dikediamannya tidak pernah putus qataman quran, ini saya saksikan sendiri. ​Demikian juga dengan agama yang lain, Kristen, Katolik bahkan Konghucu. SBY selalu hadir pada perayaan Natal nasional dan perayaan Cap Gomeh.​ Fakta bahwa SBY memang adalah penjaga kebinekaan dan bukan perusak kebinekaan sebagaimana yang sekarang difitnahkan kepada SBY.

Dengan segala apa yang dilakukan oleh SBY terhadap Etnis Tionghoa, sudah tentu Agus Harimurti Yudhoyono juga akan melakukan hal yang sama, mengikuti apa yang sudah dibuktikan oleh SBY menjaga Kebinekaan, AHY tentu akan meneruskan menjaga kebinekaan tersebut. ​Ini genetik dalam darah yang mengalir, terbukti bahwa AHY sendiri menikahi seorang gadis Batak yang memang jarang terjadi selama ini pernikahan beda suku. Ini contoh kecil bagaimana AHY juga memiliki genetik kebinekaan.​

Sudah saatnya bagi warga Etnis Tionghoa berterimakasih kepada SBY dan tidak melupakan apa yang telah dilakukan SBY dengan menghapuskan stigma Warga Keturunan kepada Keturunan Cina dengan memberinya nama baru Etnis Tionghoa.​ Disini dituntut pembauran dari etnis Tionghoa agar tumbuh dan hidup bersama-sama secara terbuka bersama seluruh suku atau etnis yang ada.

Etnis Tionghoa setelah diberikan kesamaan hak tanpa diskriminasi harus menunjukkan sikap bahwa kita adalah sama, berbaur secara terbuka tidak eksklusif dan sudah seharusnyapun tidak menjadi RASIS. ​Tidak menggunakan hak politiknya karena sentimen primordialisme kesukuan karena itu sikap Rasis.​ Ketika Etnis Tionghoa sudah dianggab sama, maka sudah selayaknya juga etnis Tionghoa memberikan rasa yang sama terhadap suku bangsa lain. ​Sekarang saatnya membuktikan itu khususnya dalam Pilkada Jakarta, hindari sikap rasis memilih karena sentimen etnis, tapi memilih dengan kepentingan yang lebih besar.​

Jika etnis Tionghoa tidak ingin diperlakukan rasis, maka etnis Tionghoa juga tidak boleh rasis. Memilih dengan sentimen etnis itu adalah rasis. Ingatlah bahwa Etnis Tionghoa sudah dianggab sebagai etnis dibangsa ini atas keputusan Presiden Republik Indonesia Ke 6 Soesilo Bambang Yudhoyono, maka saatnya sekarang menunjukkan kesamaan itu tanpa rasisme.​

Jakarta, 11 Pebruari 2017