ANTARA NIAT DAN TIDAK BERPERAN AKTIF, SEBUAH TINJAUAN MASIH PERLUKAH KPK?
Oleh Ferdinand Hutahaean
RUMAH AMANAH RAKYAT
BELA TANAH AIR
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
KPK sejak berdiri pada tahun 2002, KPK terus menghadapi cobaan dan tantangan. Namun hingga rejim KPK dibawah kepemimpinan Abraham Samad yang harus berakhir karena proses hukum di Kepolisian, KP masih mendapat apreasiasi dan dukungan positif dari publik secara luas. Meski beberapa kali komisionernya diduga melakukan pelanggaran kode etik, namun KPK masi terus menjadi benteng pemberi harapan terakhir penegakan hukum di negara ini. Namun ironi besar saat ini muncul ketika kita hidup diera rejim pemerintahan Joko Widodo sebagai Presiden dan rejim Agus Rahardjo memimpin KPK. KPK kehilangan ruh awal pendiriannya, KPK menjadi alat kekuasaan yang tidak lagi memberi harapan bagi rasa keadilan publik.
Kasus yang paling menjadi fokus dan perhatian kali ini sebagai tinjauan sikap atas existensi KPK adalah terhadap kasus Pembelian sebagian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang berdasarkan audit BPK menyatakan adanya kerugian negara ratusan milliar dan Dugaan korupsi pembuatan EKTP dengan kerugian trilliunan rupiah. Ada satu nama yang membuat kasus ini menjadi spesial dan sangat sarat kontrovensi. Dia adalah nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur Jakarta non aktif, Cagub DKI 2017-2022, dan mantan Anggota Komisi II DPR pada saat kasus EKTP terjadi.
<b>Nama Basuki atau Ahok ini menjadi sosok misterius, karena entah dengan kekuatan apa yang dimilikinya harus menjadi sosok sentral yang harus selalu dipisahkan dan dibersihkan serta dijauhkan dari kasus korupsi justru oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi yang harusnya bertugas mengejar koruptor justru sibuk membersihkan nama terduga koruptor. Misterius dan aneh, kekuatan apa yang dimiliki Basuki alias Ahok untuk mendapat semua perlakuan khusus itu?</b>
Atas kasus RS Sumber Waras, KPK tanpa merasa malu dan tanpa beban menyatakan bahwa KPK belum menemukan niat korupsi dari Ahok sehingga kasus tersebut harus membatu bahkan menjadi fosil kasus di KPK, meski BPK sebuah lembaga negara yang lahir dari rahim konstitusi harus menelan malu dituduh ngaco karena menghasilkan audit kerugian negara dalam kasus tersebut. Maka selamatlah Basuki alias Ahok dari gelar baru tersangka, padahal Kapolri pernah mengolok KPK dengan menyatakan di KPK Ahok tidak bisa jadi tersangka. Begitulah kira-kira esensi kalimat pak Jendral Tito saat orasi di Monas dihadapan peserta Aksi 212.
Kemudian atas kasus EKTP yang merugikan negara 2,3T dimana korupsi dilakukan berjamaah oleh Komisi II DPR RI Periode 2009-2014 dimana nama Basuki alias Ahok juga ada disana sebelum meloncat menjadi calon Wagub Jokowi 2012. KPK bahkan dengan tanpa malu juga menyatakan Ahok tidak berperan aktif sehingga arahnya tidak bisa dituduh korupsi. Sial benar komisioner KPK ini merobah fungsi tugas pemberantasan korupsi menjadi tugas pembela atau pengacara seorang terduga korupsi.
Logika konyol dari seorang penegak hukum dan seorang pemberantas korupsi, jika menyatakan tidak terlibat karena tidak berperan aktif. Tidak berperan aktif, tidak meminta, tapi terbukti menerima pemberian dan tidak melaporkan pemberian dari EKTP tersebut, bukanlah itu gratifikasi yang tidak dilaporkan? Bukankah gratifikasi adalah korupsi? Apakah korupsi jadi hilang dan tidak bisa dituntut karena tidak berperan aktif? Jika memang Basuki bersih dan tidak terlibat, mengapa Basuki tidak melaporkan kasus itu kepada KPK? Ahhh KPK ini sialan betul, merusak logika pemberantasan korupsi.
Atas dasar kedua hal diatas, layaklah kita meninjau ulang sikap terhadap existensi KPK. Karena awalnya KPK di dirikan untuk memberantas korupsi dan sementara sekarang berubah fungsi menjadi pembela dan pelindung terduga koruptor, hanya ada dua pilihan. Pertama, seluruh komisioner KPK dibawah rejim Agus Rahardjo mengundurkan diri, atau pilihan kedua KPK dibubarkan saja. Pilihan ini perlu diambil sikap secara tegas supaya marwah penegakan hukum dan semangat pemberantasan korupsi dinegara ini tidak menjadi lemah. Ini era Revolusi Mental, mestinya merubah mental bobrok menjadi benar bukan merubah mental waras jadi sakit atau gila.
*Satu lagi, kepada KPK saya titip pertanyaan, apa kabar kasus pajak yang melibatkan keluarga Presiden?
Jakarta, 20 Maret 2017