JAKARTASATU – Selain keindahan panorama beberapa wilayah pesisir yang belum banyak diketahui masyarakat Indonesia dan turis mancanegara, ternyata Sulawesi Tengah  banyak sekali menyimpan beragam daya tarik mulai dari daerah pesisir pantai, kuliner, hingga hasil bumi pertanian berupa kopinya.

Apalagi ke istimewaan Sulawesi Tengah  selain daerah yang di lintasi garis khatulistiwa, Ternyata ada hal lain yang tidak kalah menariknya yaitu sesuatu yang juga  bisa menjadi daya tarik dan magnit para turis domestik maupun manca negara. Apa itu ?  ya kopi  Sulteng ternyata tidak kalah menarik dengan kopi- kopi lain yang ada di Indonesia.

Namanya mungkin masih asing ditelinga beberapa penikmat kopi. Beda jauh dari kopi Toraja yang masih serumpun dari pulau Sulawesi. Kopi – kopi asal Sulteng seperti kopi  kulawi dan kopi napu  satu di antara beragam magnit untuk wisatawan yang berkunjung ke Sulawesi Tengah atau kekota Palu .

Selain  2 kopi tradisonal (Napu dan Kulawi) di Sulawesi Tengah juga ada kopi pabrikan yang cukup terkenal yaitu kopi seduh bermerk Bintang dengan  aroma dan cita rasa yang juga cukup nikmat untuk diseruput sambil  ditemani penganan asli khas daerah Sulteng, semisal ; Pidas Rica Pisang Goreng, Lalampa, Tettu gula merah  ataupun Tarraju.

Sejarah Kopi

Kopi adalah minuman hasil seduhan biji kopi yang telah disangrai dan dihaluskan menjadi bubuk. Kopi merupakan salah satu komoditas di dunia yang dibudidayakan lebih dari 50 negara. Dua varietas pohon kopi yang dikenal secara umum yaitu Kopi Robusta (Coffea canephora) dan Kopi Arabika (Coffea arabica).

Pemrosesan kopi sebelum dapat diminum melalui proses panjang yaitu dari pemanenan biji kopi yang telah matang baik dengan cara mesin maupun dengan tangan  kemudian dilakukan pemrosesan biji kopi dan pengeringan sebelum menjadi kopi gelondong. Proses selanjutnya yaitu penyangraian dengan tingkat derajat yang bervariasi. Setelah penyangraian biji kopi digiling atau dihaluskan menjadi bubuk kopi sebelum kopi dapat diminum.]

Sejarah mencatat bahwa penemuan kopi sebagai minuman berkhasiat dan berenergi pertama kali ditemukan oleh Bangsa Etiopia di benua Afrika sekitar 3000 tahun (1000 SM) yang lalu. Kopi kemudian terus berkembang hingga saat ini menjadi salah satu minuman paling populer di dunia yang dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat. Indonesia sendiri telah mampu memproduksi lebih dari 400 ribu ton kopi per tahunnya.Di samping rasa dan aromanya yang menarik, kopi juga dapat menurunkan risiko terkena penyakit kanker, diabetes, batu empedu, dan berbagai penyakit jantung (kardiovaskuler)

Kata kopi sendiri awalnya berasal dari bahasa Arab: قهوة‎ qahwah yang berarti kekuatan, karena pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Kata qahwah kembali mengalami perubahan menjadi kahveh yang berasal dari bahasa Turki dan kemudian berubah lagi menjadi koffie dalam bahasa Belanda. Penggunaan kata koffie segera diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kopi yang dikenal saat ini

 

Kopi  Tradisional Sulawesi Tengah

Bicara kopi Sulawesi pasti banyak penggemar kopi lebih dulu mengenal kopi Toraja (Queen of coffee), yang sudah lebih dahulu dikenal . Namun jangan salah selain kopi Toraja  asal Kalosi dan Bone-bone kabupaten enrekang Sulawesi Selatan ada pula kopi robusta dan arabika asal Sulawesi Tengah yaitu kopi Kulawi dan Napu.

Kulawi  merupakan nama daerah yang menjadi satu dari dua pemasok kopi robusta didaerah palu. Menu lokal inilah yang kerap diseruput pelancong dari berbagai daerah dikawasan ampana, kab tojo una Sulawesi Tengah.

.“ kami sangat senang ketika menikmati matahari tenggelam dari ampana. Sambil menyeruput segelas kopi kulawi dan merasakan pedasnya Rica Pisang Goreng, atau Tarraju sebagai teman santai “ ungkap wisatawan domestik bercerita’tentang nikmatnya kopi tradisonal Kulawi.

Dua kabupaten di Propinsi Sulawesi Tengah, yakni Poso dan Sigi, merupakan penghasil komoditas kopi terbesar di daerah itu. “ Umumnya kopi yang beredar di pasaran Kota Palu berasal dari petani Poso dan Sigi,” ungkap Ir Fitriyani dari dinas pertanian propinsi Sulawesi Tengah. Menurut Fitri aroma dan cita rasa kopi sangat ditentukan oleh kadar tanah baik kelembaban (basa) hingga ketinggian permukaan tanah. Kopi Toraja terkenal karena daerah perkebunananya cukup tinggi dari permukaan laut dimana  kontur tanah dan kondisi tanahnyapun baik untuk tanaman kopi.

Untuk kopi sulawesi Tengah, lokasi pembudiyaan tanaman kopi di Kabupaten Poso paling besar di Dataran Tinggi Napu atau Kecamatan Lore. Dataran Tinggi Napu sejak beberapa tahun terakhir banyak dikembangkan tanaman kopi robusta, arabika dan kopi lampung.
Strukstur tanah dan iklim di wilayah tersebut sangat cocok untuk pengembangan tanaman kopi. Bukan hanya kopi, tetapi juga tanaman hortikultura baik buah-buahan maupun sayuran.

Petani di dataran itu lebih tertarik mengembangkan tanaman kopi dibandingkan lainnya seperti kakao. Sementara di Kabupaten Sigi, tanaman kopi banyak dikembangkan petani di Kecamatan Kulawi, Kulawi Selatan dan Pipikoro dan Kecamatan Lindu.

Wilayah-wilayah tersebut merupakan sentra produksi kopi dan sangat laris dijual di pasaran Kota Palu.

“Kopi-kopi dari Poso dan Sigi sangat dikenal dan disukai masyarakat di Ibu Kota Propinsi Sulteng,” ujar fitri menambahkan.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Sulteng menyebutkan luas areal tanaman kopi robusta di daerah ini tercatat 10.884 hektare dengan jumlah produksi per tahunnya sekitar 7.674 ton.
Sigi merupakan sentral produksi terbesar rata-rata 5.581 ton per tahun. Luas areal tanaman kopi di Kabupaten Sigi saat ini 5.581 hektare.

Luas dan produksi kedua terbesar adalah Kabupaten Poso. Luas areal tanaman kopi di daerah itu 1.266 hektare dengan jumlah produksi 737 ton per tahun. Sementara areal tanaman kopi arabica hanya di Kabupaten Poso dengan luas areal saat ini baru sekitar 257 hektare dengan produksi 147 ton per tahun.

Untuk kabupaten Sigi selain di Indonesia sangat terkenal dengan Kopi Luwak yang mengejutkan pasaran kopi dalam dan luar negeri.  Selain terkenal dengan kopi luwak Sigi, ternyata  Kabupaten Sigi juga memiliki kopi Toratima yang nyaris di luar radar wisatawan. Mereka harus ke Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah untuk mencobanya.

Desa Porelea di Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah punya kopi kelas satu bernama Kopi Toratima. Kopi ini hasil fermentasi kelelawar, tikus, atau tupai. Namun jangan disamakan dengan Kopi Luwak, ada bedanya.

Hewan-hewan itu memakan biji kopi yang sudah matang, mengunyah dan menelan kulit kopi yang manis, lalu memuntahkan biji kopi dalam keadaan sudah terkupas menjadi beras-kopi dan berwarna putih. Kopi ini tinggal disangrai dan ditumbuk. Aromanya lebih wangi dan rasa lebih enak dibanding kopi yang dipetik.

Kopi adalah komoditas tua di Porelea. Terbatasnya akses jalan ikut menghambat dikenalnya kopi ini di daerah lain. Butuh waktu 4 jam dari Palu untuk mencapai desa ini.

Selama ini, Kopi Toratima tidak dijual, melainkan hanya untuk konsumsi sendiri, sebagai sajian bagi tamu adat, serta suguhan utama dalam upacara-upacara adat. Kopi Toratima inilah yang sedang disiapkan untuk jadi komoditas andalan Desa Porelea. Kopinya hanya akan diolah secara tradisional, tak tersentuh mesin. Dijemur di bawah matahari dan disangrai di atas wajan tanah liat. Saat proses menyangrai, wanginya bisa merebak ke seantero desa.

Porelea tidak hanya punya satu kopi andalan, ada  dua kopi andalan. Satu lagi adalah Kopi Pipikoro. Aroma dan cita rasa serta gurih saat di seruput juga menjadi sebuah kebanggaan kopi Sulawesi Tengah.

” Pada dasarnya bibit kopi robusta maupun arabika yang ada di Indonesia itu satu bibit. Yang membedakan nama berdasarkan daerah tanam, dan kadar kelembaban tanah dan ketinggian perkebunan yang ikut mempengaruhi citarasa dan aroma kopi disamping proses dari pemetikan (panen), pengeringan, serta proses dari kopi biji menjadi kopi bubuk,” ungkap Fitriyani.

Menurut Fitri, cita rasa kopi sangat ditentukan dari proses pembuatan yang kadang proses pembuatan kopi tradisional ternyata bisa menjaga cita rasa dan aroma kopi berkualitas tinggi. Bagi masyarakat Sulawesi Tengah, kopi tradisional terbaik banyak dikerjakan oleh ina-ina (panggilan wanita tua pribumi Sulteng ; red)  yang ahli meracik dari kopi biji, proses sangrai tradisional menggunakan kayu api dengan tingkat panas tertentu untuk menjadikan biji kopi coklat dan siap ditumbuk dengan alu menjadi bubuk.

“ Karena salah satu proses menjadi bubuk ini sangat telaten dan lama, itu sebabnya kopi tradisional khas Sulteng ini cukup mahal dibanding kopi pabrikan. Apalagi alat masak yang digunakan juga tak sembarang kadang memakai wajan tembikar agar hasil sangrai nya sempurna, dengan api dari pembakaran kayu yang dijaga, Disamping proses pembuatan kopi biji dari hasil sangrai di tumbuk dengan alu batu oleh para ina-ina,” ungkap Maya salah satu penduduk Poso yang sering membantu pembuatan kopi tradisonal. (Beng Aryanto)