JAKARTASATU – Apa yang disampaikan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang menganggap terdakwa penoda agama, Ahok tidak masuk dalam tafsir agama nampak absurd. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah.
“Tadinya saja kira LbH tidak akan turun. Sekarang menjadi jelas. Hukum dan HAM milik siapa?” tulisnya, di akun Twitter pribadi miliknya.
Absurdnya pernyataan LBH Jakarta dinilai oleh Fahri karena lembaga tersebut justru nampak membela Ahok yang dikenal kerap menggusur warga DKI Jakartta tanpa adanya kejelasan hukum.
“Biasanya LBH membela yang digusur. Sekarang membela yang menggusur. Ajaib.
Seharusnya LBH membela seorang ibu yang dibentaknya Gubernurnya, “Anda maling! Saya penjarakan!” Di sana tempat LBH. Sebab tidak mungkin seorang perumpuan maling berani bertemu Gubernur. Laki-laki maling pun tidak akan datang.”
LBH yang dikenal membela warga miskin yang tertindas dalam persoalan hukum dan juga ketidakadilan menjelang pencoblosan seolah berubah haluan dengan ikut-ikutan bahas persoalan penodaan agama yang dilakukan oleh terdawak Ahok.

Inilah  Amicus Curiae yang diberikan, LBH menyampiakan 4 rekomendasi kepada Majelis Hakim pada perkara Ahok sebagai berikut:

1. Agar Majelis Hakim pada perkara 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam memutus perkara dugaan penodaan agama tersebut, terutama yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi serta hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagaimana dijamin di dalam konstitusi.

2. Agar Majelis Hakim dalam kasus Ahok tersebut menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil, dan oleh karenanya, mens rea untuk memenuhi unsur huruf b Pasal 156a KUHP yang tidak diuraikan oleh JPU dalam dakwaannya tidaklah terpenuhi.

3. Agar Majelis Hakim yang menangani perkara penodaan agama dapat menerapkan hukum yang kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada sebelumnya, seperti mengacu pada:

-Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut sebelum menerapkan pasal dengan sanksi pidana.

-Menerapkan asas lex posterior derogat legi priori, sehingga tidak serta merta menerapkan Pasal 156a KUHP yang jelas bertentangan dengan Konstitusi, UU No. 9/1998, UU 39/1999 dan UU 12/2005;

4. Agar majelis hakim menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa, sehingga penggunaan Pasal 156a KUHP, khususnya pada unsur “Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dapat dihindari karena terlampau multitafsir.

LBH Jakarta juga menyampaikan masukannya kepada Pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan review terhadap kebijakan-kebijakan anti-demokrasi, dalam hal ini PNPS No. 1 Tahun 1965 dan Pasal 156a KUHP.

“Karena jelas niscaya pasal-pasal tersebut akan meruntuhkan kehidupan demokrasi dan iklim kebhinekaan di Negara Republik Indonesia,” kata Alghif. | RI/JKST