Jaya Suprana

​Saya Warga Indonesia, Titik​
Menuju Peradaban

OLEH: JAYA SUPRANA

SEORANG sahabat saya (yang tidak perlu saya sebutkan namanya agar tidak menjadi sasaran bully-bully di tengah suasana politik paranoid menjelang Pilkada putara dua) memberitahu bahwa saya digolongkan ke golongan “Lima Tenglang Tidak Pilih Tenglang”.

Penggolongan itu merupakan kehormatan bagi diri saya sebab saya digolongkan ke satu golongan bersama Lieus Sungkharisma, Yusuf Hamka, Hari Tanoesoedibyo dan Kwik Kian Gie yang saya hormati sebagai para tokoh nasionalis dengan semangat kerakyatan yang senantiasa berpihak ke wong cilik. Namun saya selalu merasa kurang sreg disebut Tenglang. Saya tidak merasa bahwa diri saya adalah Tenglang atau Tionghoa atau Cina atau apapun sebab orang tua saya terlanjur mendidik saya untuk meyakini bahwa diri saya adalah warga Indonesia lalu titik tanpa embel-embel predikat apapun.

Silakan hujat saya sebagai Kirno (Mungkir Cino) pengkhianat, munafik atau apapun juga namun apa boleh buat saya memang sudah terlanjur meyakini diri saya adalah seorang warga Indonesia titik. Mohon dimaafkan bahwa saya yang lahir-tumbuh-kembang di lahan kebudayaan Jawa lebih bisa menghayati ajaran kebudayaan Jawa seperti ojo dumeh, rukun agawe santoso, ngono yo ngongo ning ojo ngono, jer basuki mawa beya, eling lan waspada dan tentu saja Pancasila ketimbang ajaran Khonghocu, Lao Tse atau Maozedong.

Sebagai warga Indonesia , saya pribadi memang lebih mengagumi Anoman ketimbang Sun Go Kong, Pangeran Diponegoro ketimbang Kwan Kong, Tjut Nyak Dien ketimbang Hua Mulan, Bung Karno ketimbang Sun Yat Sen , Bung Hatta ketimbang Chao En Lay, Soedirman ketimbang Yuan Shih Kay, Ronggowarsito ketimbang Qu Yuan, Taufik Ismail ketimbang Lu Hsun, Borobudur ketimbang Wanli Changcheng.

Dalam karya-karya musik saya juga menggunakan pentatonik slendro dan pelog Jawa bukan pentatonik China. Saya menulis naskah dan buku dalam bahasa Indonesia bukan Cina. Sukma saya lebih tergetar ketika mendengar Indonesia Raya ketimbang Zhōnghuá Míngúo. Saya juga kurang sreg terhadap “Tenglang Tidak Pilih Tenglang” yang terkesan SARA karena saya yakin bahwa para tokoh nasionalis pro rakyat seperti Lieus, Yusuf, Hary, Kwik, Yonan, Enggar, Marie, Tom, Tomy, Franky, Sugianto, Christianto, Anton, Hasan, Handaka dan lain-lain dalam memilih niscaya tidak memandang latar belakang SARA. Namun para beliau memang tidak akan memilih pemimpin yang sewenang-wenang dalam menatalaksana pembangunan infra struktur tega hati mengorbankan rakyat miskin dengan cara melanggar hukum, HAM, Pancasila serta Agenda Pembangunan Berkelanjutan yang telah disepakati oleh segenap anggota (termasuk Indonesia) Persatuan Bangsa Bangsa sebagai pedoman pembangunan planet bumi abad XXI tanpa mengorbankan alam dan manusia.

Siapapun yang berpihak ke rakyat niscaya akan memilih pemimpin yang bukan menyengsarakan namun menyejahterakan rakyat selaras dengan sila-sila kemanusiaan adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mau pun cita-cita terluhur bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur.[***]

​Penulis adalah warga Indonesia, titik​