TUAN GURU YANG PEMAAF DAN SAKITNYA JADI PRIBUMI.
Oleh: Jansen Sitindaon
(Dewan Pakar Jaringan Nusantara. Saya seorang (Sarjana Pribumi) lulusan Fakultas Hukum Univ. Airlangga dan Master dari Univ. Indonesia. Yang berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, adalah orang: *INDONESIA ASLI.* Lahir di Sidikalang, sebuah tempat yang sejak dulu dan sampai saat ini masih masuk wilayah Republik Indonesia. Ayah: Batak Toba, Ibu: Batak Karo. Keduanya suku asli Indonesia)
Dasar Indo..
Dasar Indonesia..
Dasar Pribumi..
Tiko!!
Walaupun sangat ritmik. Kata-kata diatas bukanlah puisi. Ataupun sajak yang saya kutif dari potongan karya seorang sastrawan. Namun itu adalah kata-kata yang keluar dari mulut seorang “anak muda” kelahiran tahun 1991. Bernama Steven Hadisurya Sulistyo, yang dia lontarkan kepada seseorang. Yang efeknya kemudian membuat ruang publik yang sudah panas karena Pilkada Jakarta ini, menjadi tambah panas.
Mungkin di bandara Changi, Minggu 9 April 2017 yang lalu, Steven sedang kerasukan menjadi singa, akibat mungkin pengaruh sedang berada di “negeri singa”, Singapura ini. Sehingga terlontarlah kata-katanya diatas. Atau bisa juga. Dalam kehidupan sehari-harinya, Steven memang telah terbiasa melontarkan kata-kata tersebut. Namun selama ini baik-baik saja. Tidak ada masalah. Karena yang menerima lontaran tidak berdaya untuk mempersoalkannya.
Namun sore itu di Changi. Steven akhirnya kena batunya. Dan yang jadi “batunya” kali inipun tidak main-main. *Betul-betul batu besar.* Kalau biasanya yang menerima lontaran kalimatnya ini mungkin pembantunya dirumah. Atau orang yang bekerja di perusahaan milik keluarganya. Yang beratus kalipun kalimat itu dia lontarkan. Karena keadaan, akan diam saja. Tidak berdaya untuk melawan. Kali ini situasinya berbeda.
Kalimat yang tidak pantas itu dia “semburkan” kewajah *Tuan Guru Muhammad Zainul Majdi.* Sang Gubernur NTB, yang juga pemimpin Organisasi Islam besar di Indonesia, Nahdatul Wathan (“NW”). Yang dalam kesehariannya memang sangat “low profile”. Sangat sederhana. Sehingga, jangankah Steven. Kita yang sering melihatnya diruang publikpun, kadang sering tidak sadar kalau beliau ini adalah seorang Gubernur.
Kesederhanaan sang Gubernur inilah yang membuat Steven akhirnya kena batunya. Akibat tidak menyadari sosok dihadapannya, dan menganggapnya seperti pegawai dirumahnya saja mungkin, karena naiknya juga pesawat jenis “low cost” seperti orang Indonesia pada umumnya, terlontarlah kata-kata dari mulut Steven yang memantik bara diatas. Kemudian terekspos, menjalar, membangkitkan ketersinggungan, dan akhirnya membuat panas ruang publik.
*****
Dengan usianya yang masih tergolong “belia” ini. Kelahiran tahun 1991. Menarik sebenarnya untuk mengetahui, darimana kira-kira Steven “belajar” kata-kata berbau tuduhan rasial tersebut. Apa juga yang menyebabkan dia begitu bencinya kepada pribumi? Begitu bencinya kepada Indonesia? Padahal ditelisik surat pernyataan maaf yang dibuatnya sendiri, tertulis, Steven ini ternyata juga berkewarganegaraan Indonesia. Bukan warganegara asing. Dan tinggalnyapun (sesuai foto KTP miliknya yang tersebar) juga di Kedoya, Jakarta Barat, yang sampai saat ini “masih” masuk wilayah Indonesia. Mungkin, karena pernah sekolah di luar negeri saja, sehingga ada sedikit bagian dirinya yang berbau luar negeri. Selebihnya, semuanya Indonesia.
Namun. Dengan keluarnya ucapan: “dasar Indonesia”, dari mulutnya yang berkonotasi negatif. Maka tidak salah kemudian kita berasumsi dan bertanya, jangan-jangan Steven ini dan banyak “warga keturunan” lainnya memang tidak merasa sebagai orang Indonesia? Apalagi merasa sebagai pribumi?
Inilah sesungguhnya pertanyaan pokok dari kejadian ini, yang terlebih dahulu harus dijawab. Dan ditemukan jawabannya.
Karena ucapan sejenis ini, beberapa waktu lalu juga pernah kita dengar keluar dari mulut seorang *Soekanto Tanoto* di televisi CCTV2 China, yang menyatakan: *”Indonesia baginya hanyalah ayah angkat, ayah kandung tetap Cina”.* Padahal Soekanto ini menjadi kaya raya dari tanah Indonesia. Bukan tanah RRC. Namun nasionalisme dan rasa cintanya kepada Merah Putih ternyata tidak “sekaya”, kekayaannya yang begitu melimpah yang telah diberikan oleh bumi Indonesia ini.
Dengan fakta ini,   menjadi pertanyaan bagi kita, bagaimana sesungguhnya rasa Nasionalisme kedua orang ini, dan juga banyak warga keturunan lain diluar sana? Jangan-jangan sudut pandang mereka melihat Indonesia ini, sama dengan Steven dan Seokanto Tanoto diatas. Walaupun WNI tapi tidak merasa Indonesia.
Khusus terkait pernyataan Soekanto Tanoto diatas. Agar tidak menjadi polemik. Karena dalam satu kesempatan dia pernah membantah mengatakan kalimat tersebut. Saya kutifkan saja pernyataan aslinya dari televisi CCTV2 dalam versi bahasa Inggrisnya. Yang kemudian nanti akan saya terjemahkan:
“…. I was born, raised in Indonesia. And I studied, married and started my business there. As a result I always take Indonesia as my *adoptive father* in a dwelling county. But when i come back to china, I feel I have returned to the arms of my (mother) parents to our motherland. Because all of us are Chinese, blood is thicker than water. So I have always been considering China as my *natural father..”*
Terjemahan ucapan diatas versi saya:
“.. Saya lahir, dibesarkan di Indonesia. Dan saya belajar, menikah dan memulai bisnis saya di sana. Akibatnya saya selalu mengambil (pen: menempatkan) Indonesia sebagai *ayah angkat* saya. Tapi ketika saya datang kembali ke china, saya merasa saya telah kembali ke pelukan (ibu) saya, orang tua untuk tanah air kita. *Karena kita semua adalah Cina, darah lebih kental daripada air.* Jadi saya selalu mempertimbangkan Cina sebagai *ayah alami* (pen: kandung) saya.. “
Fakta diatas. Tanpa “dibumbuipun”, rasanya telah berkata banyak. Dari anak muda seperti Steven. Sampai level orang tua (nya) seperti Soekanto Tanoto, yang jelas-jelas telah “dikayakan” oleh bumi Indonesia ini. Ternyata, itu semuapun tidak cukup untuk menjadikan mereka merasa Indonesia. Padahal dipikir-dipikir, kurang baik apalagi Indonesia ini? Semuanya telah diberikan. Bahkan di negeri ini, dari golongan “steven” inilah mayoritas orang terkayanya berasal. Merekalah penikmat utama kekayaan bangsa ini. Terus, apalagi yang kurang?  Apakah dengan kaya ini tidak cukup? Ataukah mereka mau berkuasa juga di negeri ini, barulah didalam diri mereka menjadi ada rasa memiki Indonesia.
Kalau ini yang terjadi, pikir saya. Bukan tambah dihargai. Namun tambah “mampuslah” pribumi (memakai istilah yang dipakai Steven sendiri) di negeri ini. Di negerinya sendiri. Betul-betul pribumi akan kembali menjadi “inlander”, seperti dimasa sistem segregasi (pemisahan) rasial dimasa kolonial dulu. Ditempatkan dilevel manusia, kelas paling bawah, yang tidak berkuasa atas tanah, bumi dan bahkan dirinya sendiri. Kalau dimasa kolonial dulu kelasnya berada dibawah ras “vreemde oosterlingen” (Timur Asing). Masak, dimasa kemerdekaan ini kita mengizinkan lagi hal tersebut terjadi?
*****
Kembali kepersolan Steven dan Tanoto diatas. Kalau betul, menghargai Indonesia saja mereka tidak mau. Maka tidak tepatlah pikir saya, dahulu dikeluarkan *Keppres No. 56 Tahun 1996 jo. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1999* yang menginstruksikan *pengapusan tidak berlakunya lagi SBKRI* (Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia) bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI.
Karena, melihat ucapan Steven dan Tanoto diatas, boleh saja mereka lahir di Indonesia. Namun ternyata belum tentu mereka merasa Indonesia. Untuk itulah mereka seharusnya (tetap) dibebankan kembali mengurus SBKRI, untuk menguji ke Indonesiannya. Tidak serta merta menjadi Indonesia seperti aturan saat ini. Yang ternyata lebih banyak melahirkan luka. Karena banyak diantara warga keturunan ini ternyata tidak merasa dirinya sebagai orang Indonesia. Karena aturanlah, secara serta merta mereka menjadi orang Indonesia. Bukan karena keinginan mereka sendiri menjadi warga negara Indonesia.
Kalau pemilu yang meminta pendapat ratusan juta orang saja, “sudah rutin” dan sukses kita lakukan. Melalui tulisan ini, saya mengajukan usul. Baiknya jutaan warga keturunan yang hari ini ada di Indonesia, disensus dan ditanyakan ulang lagi masihkah ingin jadi warganegara Indonesia atau tidak. Untuk menghindari, lahir dan berulangnya kembali “steven-steven” baru dikemudian hari. Yang sesungguhnya “suara dalamnya”, dia tidak merasa orang Indonesia. Dan dia menolak ke-Indonesiaannya.
Lebih baik untuk orang-orang sejenis ini dibukakan kesempatan baginya untuk menentukan ulang, memilih tetap menjadi orang Indonesia atau keluar menjadi warganegara lain. Karena selain buat Indonesia sendiri, orang sejenis ini tidak berguna. Akibat ulahnya, malah kasihan warga keturunan lain akan ikut menjadi korban. Padahal bisa saja yang ikut terkena imbasnya ini, betul-betul telah “menjadi” Indonesia, dan mencintai Indonesia. Inilah menurut saya solusi yang tepat demi kebaikan bersama. Jangan sampai ada lagi orang Indonesia, yang tidak menghargai ke Indonesiaannya.
Khusus untuk Steven dan Soekanto Tanoto diatas. Menurut saya, karena faktanya sudah jelas. Sebaiknya Steven dan Tanoto ini melepaskan atau dilepaskan saja statusnya secara resmi oleh Negara sebagai Warga Negara Indonesia. Karena dengan kejadian yang mereka lakukan, kelayakan mereka menjadi warga negara Indonesia sesungguhnya telah hilang. Atau. Kalau masih ingin menjadi warga negara Indonesia. Diuji lagi ke Indonesiannya. Karena “jangan-jangan” lagu Indonesia Raya pun mereka tidak hafal. Padahal jelas-jelas ada kata Indonesia didalamnya, yang telah mereka “nista”.
Selain Keppres No. 56/96 dan Inpres No. 4/99 diatas. Melihat ucapan Steven kepada Tuan Guru ini. Saya juga merasa *Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Pelarangan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi,* juga menjadi tidak relevan lagi diberlakukan. Karena kelompok warga keturunan yang selama ini diperjuangkan haknya agar tidak disebut “non pri”. Ternyata, minimal contohnya melalui Steven ini, juga menggunakan kata “pribumi” dalam kesehariannya untuk sebuah ujaran yang berkonotasi negatif dan kebencian.
Demi Hak Asasi Manusia, persatuan dan kesatuan bangsa, dilarang memakai dan mengucapkan: “non pribumi”, kata perintah Inpres 26 ini. Namun faktanya, dikomunitas warga keturunan, mereka juga mengucapkan hal yang sama, kata “pribumi” untuk sebuah ujaran yang negatif. Apakah fakta ini bukan menjadi haram bagi mayoritas. Halal bagi minoritas?
Bagi saya pribadi. Keras dan menyakitkan sekali sebenarnya kata-kata yang diucapkannya Steven ini. Saya merasakan kata-kata ini sama kerasnya dengan kalimat larangan dimasa kolonial dulu, yang biasa ditulis didepan kolam renang, societat, gedung pertemuan, dll yang berbunyi: *“verboden voor honden en inlander,”* yang artinya *“dilarang masuk bagi anjing dan pribumi.”*
Kalau pada masa kolonial, pribumi disamakan dengan anjing. Dimasa ini, dikomunitasnya Steven, ternyata (kita) pribumi diturunkan lagi derajatnya, disamakan dengan Tiko. Tikus Kotor. Tikus saja sudah menjijikkan. Apalagi tikus kotor. Walaupun kedua jenis binatang ini sama buruknya. Karena manusia memang tidak layak dipersamakan dengan binatang apapun. Namun dibanding tikus. Anjing, istilah yang dipakai kolonial, menurut saya masih jauh lebih baik. Karena anjing masih dipelihara dan diberi makan oleh tuannya. Kalau tikus, apalagi ini jenisnya tikus kotor, malah sebaliknya ingin diburu untuk dimusnahkan. Dimasa merdeka ini. Begitu buruk ternyata nasib pribumi di negerinya sendiri. Diburu ingin dimusnahkan. Dilucuti ingin dilemahkan. Dimiskinkan untuk dinista.
Layaklah kemudian. Karena ulah Steven ini masyarakat yang merasa dirinya “pribumi”, menjadi: marah! Karena, membaca disebut tikus kotor saja sudah membuat emosi. Apalagi kalau mendengarnya langsung diucapkan ditelinga. Seperti yang dialami Tuan Guru.
Disinilah saya melihat luar biasanya seorang Tuan Guru ini. Ditangannya ada kekuasaan, karena dia Gubernur aktif. Sekaligus. Ditangannya juga ada ummat yang siap digerakkan, karena dia Ketua Tanfidzyah NW. Namun sikap yang diambilnya “malah” memaafkan Steven. Bahkan, dihari-hari kedepan ini, demi kebaikan Steven dan warga keturunan lainnya. Malah Tuan Guru ini kembali yang akan bertambah pekerjaannya, untuk meredam kemarahan masyarakat di NTB sana (dan di Indonesia ini), yang merasa ulama dan umaranya telah dilecehkan.
Beruntunglah Steven ini bertemu seorang yang sudah tinggi ilmunya, tinggi pula maafnya seperti Tuan Guru, pikir saya. Kalau tadi Steven ini bertemu jenis manusia “darah panas” yang ditangannya juga ada kekuasaan plus ummat, bisa binasa ini Steven. Ditengah kepedihan ini ternyata juga lahir berkah bagi Indonesia. Karena bersama kasus ini, saya melihat telah lahir sosok Negarawan baru melalui sosok Tuan Guru Zainul Madji ini.
Dari apa yang dilakukan Tuan Guru dan kaitannya dengan Negarawan ini. Saya teringat ucapan David Llyold George, Perdana Menteri Britania Raya yang dianggap sebagai pendiri dan peletak negara kesejahteraan modern, yang melalui pernyataannya memberi sebuah batasan jelas siapa itu Negarawan, melalui ungkapan:
*”A politician is a person with whose politics you don’t agree; if you agree with him he’s a statesman”.*
Terjemahan bebasnya:
*”Politikus adalah orang yang dengannya kita tak bersetuju. Tatkala kita bersetuju, dia adalah negarawan”.*
Melalui persoalan ini kita dapat melihat kebesaran hati seorang Tuan Guru. Sebagai manusia yang par excellent, cum primus inter pares untuk ukuran seorang pribumi, karena dalam dirinya semua ada: ilmu yang tinggi, jabatan di pemerintah, kekuasaan, ketua partai politik dan juga ummat yang siap diperintah, harusnya Tuan Guru ini bisa melakukan tindakan apapun yang dia mau untuk membalas cacian yang dia terima. Namun dia memilih jalan untuk memaafkan Steven.
Bahkan, dimasa hampir 9 tahun dia memerintah sebagai Gubernur NTB, kita juga tidak pernah mendengar di NTB pernah terjadi kerusuhan rasial. Ditangannya, kerukunan beragama dan kehidupan antar etnis di NTB berjalan sangat baik, sangat harmonis. Bahkan “kaumnya” Steven ini juga dapat hidup dan menjalankan usaha tanpa gangguan.
Terimakasih saya pikir. Melalui persoalan ini, kita bisa mendapatkan dan semakin lebih mengenal lagi satu sosok yang mungkin saja kedepannya akan memimpin bangsa ini.
Kasus Steven ini harusnya dapat menjadi bahan reflektif bagi warga keturunan untuk tidak lagi mengulangi hal yang sama. Kedepannya mereka harus dapat lebih menjaga mulutnya. Kalau tidak nyaman disebut nonpri, ya jangan juga menyebut “pribumi” dalam konotasi negatif, dilingkungan keseharian mereka. Apalagi menambahinya dengan persamaan Tiko, Tikus Kotor yang sangat menjijikkan. Karena kalau ini yang terjadi, maka jangan salahkan kalau semua orang yang merasa dirinya Pribumi, akan merasa ikut terserang.
Apalagi ditengah jurang keadaan ekonomi saat ini. Perilaku sejenis yang dilakukan Steven ini, berpotensi mengaduk kembali perasaan kebencian warga pribumi terhadap golongan nonpri. Kebencian rasial yang dilontarkan ini juga berpotensi akan dibalas balik dengan tuduhan berbau rasialis juga. Karena terkait persoalan “pri dan nonpri” ini. Di permukaan karena aturan hukum, terlihat adem. Namun dibawah, bara api sesungguhnya tidak pernah benar-benar padam.
Demi kebaikan bangsa ini kedepannya, walaupun Tuan Guru telah memaafkan. Karena pidana tanggung jawabnya pribadi. Bukan kelompok. Menurut saya harus ada juga sanksi yang dijatuhkan oleh “hukum” kepada Steven ini.
*Pasal 4 huruf b angka 2 jo. Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2008* tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, menurut saya sangat tepat dan telah memenuhi unsur untuk digunakan di perkara ini. Selengkap nya bunyi Pasal ini adalah:
Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, dan mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak lima ratus juta rupia
Selain karena memang unsur pidananya telah terpenuhi. Sanksi ini menurut saya menjadi penting untuk dijatuhkan. Demi menjaga dan mengingatkan agar “steven-steven” lain yang masih banyak berkeliaran diluar sana, yang karena kelimpahan ekonomi yang dimilikinya, tidak akan lagi melakukan hal yang sama, menganggap remeh dan nista orang-orang pribumi. Apalagi pribumi yang bekerja untuk mereka. Baik dirumah-rumahnya. Maupun ditempat usaha yang mereka kelola.
Karena harus diakui. Walaupun tidak berkaitan langsung. Dengan sistem politik yang hari mengizinkan boleh berkuasanya warga keturunan. Plus ditambah lagi kekuasaan besar mereka dibidang ekonomi. Kedepannya, “steven-steven” baru malah berpotensi akan lebih sering muncul.
Itulah maka saya berpikir. Kalau dahulu UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dibuat untuk melindungi warga “non pri”. Sekarang malah terbalik. *UU ini berfungsi untuk melindungi warga Pribumi.* Yang ditempat kerjanya karena dimiliki oleh pengusaha “non pri” misalnya, mungkin saja dicaci-maki dengan merendahkan rasnya. Sosok yang par excellent seperti Tuan Guru saja bisa mengalaminya. Apa lagi saudara-saudara kita yang bekerja menjadi pembantu dirumah-rumah mereka.
Kasus Steven ini juga sekaligus otokritik bagi diri kita sendiri. Para “politisi pribumi” dan “birokrat pribumi” yang hari ini memegang amanah disetiap level pemerintahan. Dari pusat sampai daerah. Kerjakanlah amanah tersebut dengan benar. Bukan malah ditanganmu, negeri ini tambah rusak. Sehingga rakyat muak, dan akhirnya berpikir, non pri mungkin lebih baik (kita coba sekali-kali) untuk memimpin negeri ini. Karena perilaku kitalah kadang celah itu sendiri terbuka.
Seperti penyebutan dimasa kolonial, “in-land” (ers), didalam, kepada Pribumi. Mari jadikan dimasa kemerdekaan ini, kita betul-betul “in-land”, betul-betul didalam sebagai pemilik atas Negeri ini. Karena pemilik pasti menjaga dengan baik barang miliknya. Mari kita jaga dan rawat Negeri ini. Jangan sampai terulang kembali kita tidak berkuasa atas negeri kita sendiri, seperti dimasa kolonial dulu.
Jakarta, 17 April 2017.