OLEH Tarli Nugroho
Danang Widoyoko menulis jika Basuki mempraktikkan “Kapitalisme Negara”, karena selama dia berkuasa penyertaan modal pemerintah (PMP) kepada BUMD terus meningkat. Argumen kapitalisme negara itu digunakan untuk menepis stigma jika Basuki adalah gubernurnya para pengembang, sebagaimana yang misalnya sering dituduhkan lawan-lawan politiknya.
Menjadikan penyertaan modal pemerintah kepada BUMD sebagai indikator praktik kapitalisme negara oleh Pemprov DKI tentunya tidak tepat, terutama jika tidak memperhatikan alokasi dan penggunaan PMP tersebut. Memang, PMP kepada BUMD oleh Pemprov DKI terus meningkat, tapi peningkatan itu didominasi oleh beberapa proyek saja. Misalnya, sejak zaman masih menjadi Wakil Gubernur, Basuki menginginkan agar Bank DKI bisa menaikan statusnya dari Bank BUKU 2 menjadi Bank BUKU 4. Untuk itu, sejak 2014, Pemprov DKI berencana menyuntik Bank DKI dengan suntikan PMP sebesar Rp30 triliun. Realisasi suntikan PMP kepada Bank DKI pada akhirnya tidak sebesar itu, dan dilakukan secara bertahap.
Selain Bank DKI, BUMD yang mendapat suntikan modal besar lainnya adalah PT MRT Jakarta dan PT Transjakarta. Kita tahu, PT Transjakarta dibelit oleh kasus pengadaan bus yang bermasalah. Sementara MRT, sejak awal ini adalah proyek mahal yang diperkirakan tidak akan efektif mengatasi problem transportasi di Jakarta. Sebagai perbandingan, biaya konstruksi proyek MRT di Jakarta US$ 98 juta per kilometer, padah di Singapura hanya US$ 54,5 juta per kilometer. Belum lama ini kita juga membaca bahwa gara-gara perencanaan pembangunan depo yang berubah, anggaran pembangunan MRT membengkak hingga seratus persen.
Hal kedua yang membuat argumen kapitalisme negara itu perlu dipersoalkan adalah argumen itu mengabaikan rendahnya serapan APBD Pemprov DKI selama dipimpin oleh Basuki. Serapan APBD DKI tiap tahun hingga bulan November, sejak 2014, kecuali pada pada 2016, selalu berasa di bawah 30 persen, meskipun realisasinya di akhir tahun bisa tembus di atas 60-an persen. Tiap tahun DKI selalu masuk ke dalam jajaran daerah dengan tingkat serapan APBD terendah.
Bagaimana bisa ada kapitalisme negara jika serapan APBD-nya selalu rendah?!
Berkebalikan dengan penyerapan APBD yang tidak pernah optimal, selama dipimpin Saudara Basuki Pemprov DKI gemar sekali menggunakan uang dari pihak ketiga (swasta) untuk membangun infrastruktur, meskipun tidak ada payung hukum dan kontrol yang jelas mengenai hal itu. Penggunaan dana non-budgeter itu tentunya mengandung persoalan, karena pengawasan dan pertanggungjawabannya jadi tidak jelas.
Apalagi, kontribusi pihak ketiga itu terutama diperoleh melalui “komersialisasi” pelanggaran oleh pengembang, yang telah menciptakan ketidakadilan penguasaan ruang di Jakarta. Melalui sejumlah Pergub sejak 2015, Pemprov DKI di bawah Basuki telah mengizinkan kenaikan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) tanpa batasan yang jelas. Selama mampu membayar kompensasi ekonomi, pengembang-pengembang besar boleh membangun sesukanya. Kompensasi dari pihak ketiga itulah yang kemudian dijadikan dana non-budgeter dan lebih suka dibelanjakan oleh Pemprov DKI daripada membelanjakan APBD.
Jadi, benarkah yang dipraktikkan oleh Basuki di DKI adalah sejenis kapitalisme negara?! Dengan melakukan “kapitalisasi” atas pelanggaran KLB, yang jelas sebagai pejabat publik Saudara Basuki lebih suka mengelola dana non-budgeter daripada mengelola anggaran publik. Tanpa payung diskresi ala pemerintahan Jokowi, model kebijakan yang diambil Saudara Basuki ini jelas bermasalah.