jAKARTASATU – Terkait masalah intoleransi disekolah menjadi ramai diberitakan oleh media nasional yang merugikan sepihak. Hasil dari pemberitaan yang berjudul ” Intoleransi terjadi di Sekolah, Siswa Tolak Ketua OSIS Beda Agama” oleh kompas online membuat penggiat pendidikan kota Salatiga yang menjadi obyek penelitianpun meradang. Akibat pemberitaan yang melansir statemen Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo dalam sebuah diskusi peringatan Hari Pendidikan Nasional yang digelar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta, Selasa (2/5/2017), membuat terkejut kalangan pendidik di Salatiga.

Dalam keterangannya dimedia online nasional, Henny mengatakan bahwa imbas pilkada DKI memiliki imbas kemana-mana . Isu agama yang diangkat dalam pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta dikhawatirkan guru dan orangtua bisa berdampak kepada para siswa. Tentu saja ini sangat bertentangan dari hasil penelitian dan fakta lapangan yang dilakukan oleh Nur Berlian V. Ali peneliti pada Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Kemendikbud di dua sekolah menengah atas kota Salatiga dan Singkawang.

Seperti dikutip dijejaring sosial akun facebook Yati Kurniawati Yap Kepala Sekolah SMPN 10 di Salatiga, sangat terkejut dengan pemberitaan yang ada. “Benarkah Kemdikbud melakukan penelitian tersebut. Apakah ada yang punya hasilnya. Bukankah Salatiga kota toleran nomor 2 di Indonesia?” Tulis Yati Kurniawati di laman akun facebooknya. “ Ini akibat serampangan membaca sebuah penelitian yang dilakukan di dua sekolah tingkat pertama Salatiga dan Singkawang, alhasil pihak sekolah menjadi kena getahnya dan dirugikan,” Ujar Setiawan Agung Wibowo, penggiatan Ikatan Guru Indonesiadi Jakarta , Rabu (3/5/2017).

Bagian berita yang membuatnya prihatin adalah kutipan dari Henny Supolo. Henny menyampaikan, beberapa waktu lalu ia mendapatkan laporan penelitian dari Kemendikbud di sekolah-sekolah di Singkawang dan Salatiga mengenai toleransi, kesetaraan dan kerja sama. “Ada keengganan anak dipimpin ketua OSIS yang berbeda agama,” kata Henny dalam media online. Kutipan pemberitaan tersebut dijadikannya foto ilustrasi pada posting akun medsos milik Yati Kurniawati .

Penelitian yang dilakukan Balitbang Kemdikbud pada dasarnya berbeda dengan apa yang di ucapkan Henny Supolo dalam media online kompas. Hasil penelitian justru mengungkapkan bahwa siswa-siswa di Salatiga sangatlah toleran dalam kehidupan organisasi di sekolah. Pada pertanyaan apakah ketua OSIS sebaiknya dari agama atau etnis mayoritas, siswa yang menyatakan tidak setuju 42,5% harus seagama dan yang menyatakan tidak setuju harus etnis mayoritas sebanyak 42,9% dibandingkan dengan yang setuju harus seagama 3,7% dan setuju harus etnis mayoritas 3,1%.

Melihat gap yang sangat besar dari persentase tersebut maka dapat disimpulkan bahwa siswa Salatiga sudah dewasa dalam bersikap dan sangat toleran dalam hal organisasi. Hasil penelitian tersebut dapat diakses pada alamat:
http://www.acdp-indonesia.org/wp-content/uploads/2017/04/PPT-KOPI-DARAT-32-Kajian-Pendidikan-Kebhinekaan_Nur-Berlian.pdf

“ Mengubah judul apakah menyelesaikan masalah yang timbul “, tulis Yati Kurniawati dalam akun jejaring sosial Facebooknya hari ini , Rabu (3/5/2017). Kekecewaan Yati Kurniawati selaku warga Salatiga sekaligus pelaku pendidikan akibat dilansirnya berita intoleransi di lingkungan pendidikan Kota Salatiga di beberapa media online ini, terlihat masih terpendam walau catatan redaksi meralat dan menulis info data tambahan dari kemdikbud dengan maksud memberi gambaran yang lebih menyeluruh.

“ Saya sangat terkejut dengan pemberitaan media online, bahkan masyarakat Salatiga juga tidak percaya ini.” Ujar Yati Kurniawati pada keterangan tertulisnya. Menurut Kasi Kurikulum dan Penjamin Mutu Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan kota Salatiga, Niken Widagdarini. Di Salatiga tidak ada masalah terkait intoleransi dikalangan sekolah. Tiap tahun selalu terselanggara kegiatan pawai kebangsaan, kemah kebangsaan, pembinaan karakter untuk siswa, Waka kesiswaan dan pembina-pembina OSIS. Kota Salatiga pun memiliki organisasi khusus seperti FKUB ( Forum Komunikasi dan Umat Beragama), agar kehidupan beragama dan bermasyarakat terpelihara kerukunannya.

Judul berita yang diubah dari yang sebelumnya “Intoleransi terjadi di Sekolah, Siswa Tolak Ketua OSIS Beda Agama” menjadi ” Pilkada DKI Dikhawatirkan Timbulkan Intoleransi di Lingkungan Sekolah” dianggap bukanlah cara bijak menyelesaikan permasalahan yang kadung menjatuhkan citra sekolah yang dipimpinnya juga siswa dan pendidik Salatiga umumnya.

Tampaknya dalam situasi dan kondisi politik yang cukup panas karena banyaknya berita tentang SARA yang melibatkan orang-orang dewasa, para siswa di Salatiga patut menjadi teladan dalam hal berpolitik dan berorganisasi.
“ Sejogjanya media massa hendaknya mengangkat sisi positif ini sesuai fakta lapangan, sehingga bisa menjadi pelajaran dan contoh bagi masyarakat khususnya para pelajar. Hal ini sangatlah penting bagi kemajuan sosial politik di Indonesia tentunya. “ Ujar Setiawan Agung dalam keterangan tertulisnya.

Pemanfaatan isu sara untuk politik dalam ranah siswa sekolah tingkat pendidikan dasar dan menengah mungkin tidaklah tepat. Ini menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan kedepan. Pendidikan politik siswa sekolah lanjutan pertama sebenarnya sudah ada dalam kurikulum khusus pendidikan kewarganegaraan. Untuk pendidikan hak politik dan kewarganegaraan menurut Agung Setiawan sudah masuk pada tingkat SMA.Namun memasukan isu SARA dalam pendidikan politik ditingkat siswa SMA tidaklah tepat.

“ Mestinya isu dan konstelasi politik yang berkembang akibat imbas panasnya suhu politik tidak dimasukan pada masalah kesiswaan,” ujar Agung, yang melihat adanya usaha mengkait-kaitkan masalah pilkada DKI dengan gerakan radikalisme. (BA)