MENGGUGAT KEADILAN DALAM KETIDAK ADILAN​
(Menyongsong Aksi Simpatik 5 Mei dan Putusan Kasus Ahok 9 Mei)​

​Oleh  Ferdinand Hutahaean​
RUMAH AMANAH RAKYAT​
BELA TANAH AIR​

Keadilan berarti menegakkan hukum terhadap ketidakadilan.​​

Anatole Prance seorang penulis dan peraih nobel sastra pada tahun 1921. ​

Inilah yang sesungguhnya menjadi pokok utama masalah yang tidak diberikan solusinya oleh negara dalam kasus penodaan atau penistaan agama yang dilakukan oleh terdakwa Basuki Tjahaya Purnama Gubernur DKI Jakarta.

 Pokok inti masalahnya adalah ketidakadilan yang terjadi.

–Kekuatan yang kita miliki mungkinlah tidak sebanding dengan ketidakadilan yang ada, tapi satu hal yang pasti, Tuhan tahu bahwa kita telah berusaha melawannya. — Demikian Pramudya Ananta Toer pernah menulis. Begitu jugalah semangat yang terpendam bergelora dalam hati setiap insan yang dengan rela, ikhlas turut berjuang bersama dalam beberapa aksi umat Islam baik itu aksi 411, 212 dan beberapa aksi lainnya. ​

Mereka sesungguhnya ingin menunjukkan sikap berada pada posisi melawan ketidakadilan dan menggugat keadilan bagi publik, bukan sedang menunjukkan sikap radikalisme.​

Cobalah kita menelisik perjalanan kasus Ahok ini dari awal. Mungkin bisa menyegarkan memori kita semua dan mungkin juga bisa menjadi pencerahan bagi kita semua, dan terutama menjadi masukan kritis bagi rejim berkuasa agar menyadari dimana letak ketidakadilan yang membuat publik tidak bisa diam hanya menerima begitu saja realita yang membodohi.

Tanggal 16 Nopember 2016, Komjen Pol Ari Dono Sukmanto di Ruang Rapat Utama (Rupatama) Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, mengumumkan bahwa Polisi menetapkan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Tersangka menggunakan Pasal 156 a KUHP juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sekaligus mencekal Ahok agar tidak bepergian ke luar negeri.​

Ada wujud penegakan hukum yang terjadi meski kadang kita ragukan keseriusan dari hal tersebut mengingat kasus ini bergulir cukup lama dan menyita energi yang cukup besar.

Pasca penetapan tersangka oleh Polri, Kejaksaan kemudian menetapkan berkas perkara Ahok P21. Artinya lengkap dan memenuhi unsur untuk ditindak lanjuti kepersidangan. Bukti lengkap, keterangan saksi lengkap, tersangka ada. Penetapan P21 itu sesuai dengan pasal yang di sangkakan oleh Polri yaitu pasal 156a KUHP juncto UU ITE Pasal 28. Jaksa yakin bahwa Ahok bersalah.

Memasuki masa pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara kemudian mulai terjadi keanehan. 

Jaksa Penuntut Umum kemudian mendakwa Ahok dengan pasal alternatif yaitu Pasal 156 KUHP yang mana ancaman hukumannya 4 tahun kurungan dan Pasal 156a KUHP ancaman hukuman 5 tahun dengan menghilangkan pasal 28 UU ITE dengan ancaman hukuman 6 tahun kurungan.​ Inilah menurut saya perlakuan JPU yang menjadikan penegakan hukum penuh dalam ketidak pastian. ​

Mestinya JPU harus mendakwa Ahok sebagaimana pasal yang ditetapkan Polri yaitu pasal 156a KUHP dan UU ITE Pasal 28.​

Kemudian pada tahap pemeriksaan para Saksi maupun pemeriksaan terdakwa oleh Hakim, JPU yang mewakili negara tidak terlihat serius membuktikan dakwaannya. Meski pada saat dakwaan dibuat JPU menyatakan Ahok terbukti menghina Agama Islam dengan mengomentari Almaidah 51.

Jaksa bahkan membiarkan terdakwa dan pengacaranya mengintimidasi Saksi Ahli Agama tanpa pembelaan. Jaksa diam, bisu membiarkan pengacara mematahkan dakwaannya sendiri.​

Tuntutan JPU pun dibacakan. JPU kemudian hanya menuntut Ahok dengan hukuman kurungan 1 tahun kurungan dengan masa percobaan 2 tahun. Bagai diterpa gempa bumi, situasi kebathinan publik kemudian tersentak dan terguncang dengan tuntutan tersebut.

JPU bahkan tidak mampu atau tidak mau membuktikan pasal 156a tentang penistaan agama sehingga tuntutan hanya bermuara pada pasal 156 KUHP tentang ketertiban umum.​

Betapa tidak adilnya JPU, betapa sangat tidak jujurnya JPU. Dalam dakwaan JPU menyatakan Ahok terbukti, namun berbeda pada saat tuntutan yang hanya menuntut Ahok dengan pasal ketertiban umum. Publik kemudian kehilangan harapan untuk mendapatkan keadilan karena Jaksa yang mewakili Negara telah membuat ketidak pastian dan kegelapan dalam penegakan hukum. Jaksa main-main dan mempermainkan hukum. ​

Tidak menyertakan UU ITE Pasal 28 dan mendegradasi pasal 156a KUHP adalah bukti nyata bagaimana Jaksa telah membelokkan penegakan hukum. Pasal yang ditetapkan Polri yaitu 156a KUHP dan UU ITE Pasal 28 gugur begitu saja meski Jaksa pada awalnya menyatakan P21. Ironi menyedihkan dalam proses penegakan hukum yang terjadi dalam sejarah bangsa ini.

Bila mau jujur dan terbuka, pembuktian kasus penistaan agama oleh Ahok ini bukan sesuatu yang sulit dilakukan. Tidak sulit membuktikan apakah Ahok menistakan agama Islam atau tidak. ​

Barang bukti lengkap, tersangka mengakui ucapannya, diucapkan pada moment kedinasan sebagai Gubernur yang kebetulan sebagai Calon Gubernur, Saksi Ahli Agama menyatakan Ahok menistakan Agama, Saksi Ahli Bahasa menyatakan ucapan Ahok mengandung permusuhan dan mengandung unsur penodaan, saksi fakta mengakui melihat dan mendengar Ahok mengucapkan kata-katanya sewaktu di Pulau Seribu.​

Dengan uraian singkat tersebut, lantas mengapa Jaksa Penuntut Umum malah merasa Ahok tidak terbukti menistakan Agama? Bukankah para saksi itu adalah saksi yang dihadirkan oleh Jaksa? Aneh jika JPU malah tidak menjadikan keterangan saksi yang diajukannya sebagai dasar pembuktian. Keanehan itu terjadi tentu sangat besar kemungkinan terjadi karena ada faktor intervensi. Saya yakin Jaksa tidak bodoh dan kalaupun bodoh tidak akan sebodoh itu.

Kembali sedikit ke belakang, andai Jaksa meneruskan ancaman hukuman sesuai pasal yang ditetapkan oleh Polri yaitu pasal 156a KUHP dengan ancaman 5 tahun kurungan dan Pasal 28 UU ITE dengan ancaman 6 tahun kurungan, maka selayaknyalah Ahok dituntut minimal 4 s.d 5 tahun kurungan supaya tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat. Atau setidaknya jika menggunakan pasal 156 KUHP ancaman 4 tahun, sudah selayaknya Ahok dituntut 1.5 atau 2 tahun kurungan tanpa masa percobaan karena keresahan publik yang timbul sudah sangat menguatirkan.​

Semua ini memang tidak ada aturannya karena merupakan hak subjektif. Namun hak subjektif itu tidak boleh semena-mena apalagi menabrak atau mengabaikan rasa keadilan publik.

Keadilan kemudian menjadi topik tuntutan Umat Islam yang berencana melakukan Aksi Simpatik 5 Mei. Menggugat keadilan dalam ketidak adilan yang dipertontonkan secara kasar dan keras oleh pemerintah telah membangkitkan semangat perlawanan untuk mendapatkan keadilan yang terbelokkan.​

Keadilan itu adalah hak publik yang dirugikan oleh terdakwa. Keadilan bukan untuk terdakwa karena terdakwa Ahok adalah pelaku ketidak adilan dan pelanggaran hukum, maka keadilan harus diberikan kepada publik yang dirugikan. ​

Andai keadilan itu diberikan tanpa rekayasa, maka saya meyakini tidak akan ada aksi-aksi untuk menuntut keadilan. Kebuntuan kanal keadilan telah mengakibatkan publik membuka jalan untuk mendapatkan keadilan.​

Tanggal 9 Mei akan ada pembacaan putusan vonis terhadap terdakwa Ahok atas tuntutan JPU.

Sebelum pertanyaan kita lontarkan, saya berdoa dan berharap semoga Hakim tidak menunda sidang dengan alasan belum selesai mengetik putusan. Pertanyaannya adalah, vonis seperti apa yang akan dijatuhkan oleh hakim? Beranikah Hakim menjatuhkan vonis diatas tuntutan konyol Jaksa demi memenuhi rasa keadilan publik?​

Semoga aksi simpatik 5 Mei besok menjadi spirit dan keberanian bagi hakim untuk menjatuhkan vonis yang berkeadilan, karena hanya dengan keadilan yang terpenuhilah maka rakyat akan tenang menjadi warga negara yang tidak perlu mencari keadilan dengan cara yang dipahaminya.​

Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi bangsa ini.

Jakarta, 04 Mei 2017