OLEH AENDRA MEDITA *)
Kenduri pilkada 2017 Baru saja usai. Kisahnya mengharu-biru. Dan datang peradaban baru demokrasi yang membuka lembaran baru. Meski awalnya bersikukuh bahwa Pilkada adalah adu konsep adu strategi meraih dalam simpati pemilih dan masyarakatnya.
Tapi rupanya banyak yang belum menerima kenyataan. Demokrasi Hanya semacam karasori yang belum ada mesin sehingga tak berarti apa-apa. Menerima kenyataan. dalam bahasa besar KPU adalah siap menang siap kalah ternyata hanya isapan semata.
Janjinya siap kalah siap menang nyatanya tak sanggup dikunyah oleh siapa menerima kekalahan, istilah kerennya tak move on coy!.
Lalu dimana rasa itu Ada?
Jika saja ada yang membela tentang si kalah dengan ribuan bunga itu hanya sebuah drama tragedi situasi. Berbeda dengan drama-drama kerajaan Inggris yang diolah dramaturginya oleh sang ahli Wiliam Shakespeare yang kuat dengan diksi dan metapor yang indah.
Drama tragedi karya Shakespeare adalah jiwa-jiwa besar dalam maha karya sastra dunia. Ceritanya dan ide intelektual terkandung di dalamnya. Kisah fenomena karyanya seperti Romeo & Juliet adalah kisah kuat dan sangat membumi. Dalam karyanya juga banyak membangun kekuata kritik terhadap konteks besar keaadan saat itu.
Lain lagi dengan kisahnya dramawan Prancis Jean Baptiste Poquelin ‘Moliere’. Moliere muncul dengan penuh kritik sosial yang menukit. Kegilaan drama Moliere ruang ekspresi masyakata sosial yang teraniaya. Ada kegilaan makna cerita namun kekuatan karya dramanya menukik dalam situasi yang penuh kritikan. Silakan saja baca saja cerita “Akal Bulus Scapin”.
Baiklah saya merasa dua contoh diatas adalah hal kuat yang bisa dibandikan dengan konteks yang ada saat ini. Misalnya apa yang terjadi berbeda makna politiknya dalam kisah-kisah drama dunia. Namun kisah argumentatif yang dangkal akan yang kalah menerima bunga adalah ke-absurd-an tersendiri. Meski banyak yang memaknai lain.
Tapi boleh dong bertanya apa korelasi kisah sukses lama dengan kalahnya di tarung Pilkada?
Anda yakin bahwa dengan kalah telak itu dipercaya rakyatnya?
Tahukan Anda bahwa dalam sejarah Pilkada mungkin inilah sejarah kalah telak diatas 15% itu untuk ukuran Petahana dalam Pilkada. Karena kalau kalah tipis, seklai lagi kalah tipis loh ya…cuma pilkada Banten yang Petahananya sebenarnya memang kalau kalah tipis dibawa 5%.
Catat saja kalau telah dalam sejarah besar mungkin inilah yang kalah 15% lebih. Dan ini bisa jadi kisah tragedi yang sama dengan kisah-kisah karya Sakespeare. Atau bahkan mirip cerita kisah bulus dari Moliere.
Tapi ah saya tak tau juga memang perasaannya apa. Karena seperinya “Pilkada” telah menipu mereka yang tidak Move on sehingga banyak gagal paham yang akut. Dan menuduh jika kau tak dukung si kalah di stempel anti Pancasila, Anti kebinekaan dan intolerasi, bahkan anti NKRI. Mana korelasi itu?
Apa parameter dari bunga dan kalahnya petaha ini?
Sadarlah hai saudaraku hidup ini bukan sekadar Pilkada dan buta akan kepemimpinan yang belum tentu bersih benar bahkan si kalah itu telah merusak tatanan pengusuran yang ternyata putusan hukum rakyat tergusur yang menang.
Bagusnya rasiona-lah bahwa suara itu telah membuktikannya bahwa ada yang KO dalam tanding Pilkada itu.
Mari kita cerdaskan hidup dengan ruang batin baru janganlah tertipu Pilkada yang hanya kisahnya terulang dalam 5 tahun sekali dan stop-lah memutar-bailikan bahwa jika tak kirim bunga ke Balai K0ta dan Mabes Polri tidak cinta NKRI, catat juga kenapa TNI menolak dikirim bunga?
Bukankan kampanye paling getol sejak ABRI berganti namanya menjadi TNI yang paling kuat dan terdepan membela adalah TNI dengan tagline kuatnya #NKRI HARGA MATI dan sadarlah kenapa TNI menolak kiriman Bunga? Ayo mikir-mikir brader…Jadi sekali lagi saya cuma ingin ingatkan janganlah tertipu “PILKADA” ya…
*)MANUSIA BIASA