Foto : Ist

Jokowi & Presiden RI “Korban” Lobi & Politik Amerika
(Tulisan Pertama)

JAKARTA – Baru sekitar tiga bulan Joko Widodo dilantik sebagai Presiden RI, Derwin Pereira seorang bekas wartawan “The Straits Times”, Singapura minta saya bertemu dengannya di Jakarta.

Yang mengejutkan, ceritanya tentang peran baru dia yang tidak lagi sebagai wartawan. Melainkan pelobi dan konsultan politik internasional.
Bersama timnya, satu di antaranya bekas anggota kabinet di sebuah pemerintahan RI, ia mengaku merekalah yang bekerja di belakang layar bagi keberhasilan Joko Widodo menjadi Presiden ke-7 RI.

Joko Widodo, dari seorang yang ‘hanya’ pedagang meubel, kemudian menjelma menjadi Walikota sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Walaupun Solo yang dipimpinnya merupakan salah satu kota tersohor, tapi sebagai pribadi, Joko Widodo tidak dikenal luas oleh publik Indonesia. Namun dari sinilah dia di-“grooming” menjadi terkenal, dipoles sebagai sosok pemimpin lokal, digiring ke Gubernuran Jakarta sampai kemudian dicalonkan jadi Presiden RI. Dan terpilih !

Secara implisit lelaki berdarah India itu, menyebutkan keberhasilan timnya menjadikan Joko Widodo selaku Presiden ke-7 RI, dimungkinkan antara lain di belakang dia berdiri kekuatan Amerika.
Derwin memang tidak menjelaskan apakah kekuatan itu berupa lembaga resmi pemerintah, korporasi atau non-pemerintah seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Dan saya pun tidak berminat bertanya lebih lanjut untuk menggali informasinya yang lebih banyak.
Karena bagi saya, kleimnya dia sebagai pihak yang berperan penentu atas keterpilihan Joko Widodo menjadi Presiden, tidak cukup hanya dengan pernyataan seperti itu.

Saya juga menganggap bukan kapasitasnya untuk menentukan siapa yang bisa menjadi Presiden RI.
Kleimnya saat itu lebih saya anggap sebagai gaya khas dari orang-orang Asia Selatan yang merasa lebih tinggi derajatnya dari orang Asia lainnya.

Sekalipun dia berkewarganegaraan Singapura, tetapi secara DNA dia seperti saudara kita yang berasal Asia Selatan – India, Pakistan, Bangladesh dan Srilanka.

Negara-negara ini merupakan anggota Negara Persemakmuran dimana Bahasa Inggeris merupakan bahasa utama. Karena mereka lancar berbahasa Inggeris, bahasa internasional yang paling banyak orang menggunakannya di dunia, tak jarang mereka suka mengyombongkan diri ke bangsa Asia lainnya. Mereka merasa lebih tinggi derajatnya dari bangsa Asia lainnya. Stigma ini saya dapatkan ketika belajar jurnalistik di Paris, Prancis dan Hawaii, Amerika Serikat.

Orang dari Bangladesh misalnya, walaupun negaranya tercatat sebagai negara gagal (a failed state), tetapi kalau menghadapi orang Asia seperti Indonesia, selalu bersikap berada di atas standar menurut ukuran mereka.

Saya diam saja walaupun tertarik dengan filosofi Amerika,dimana kebijakan luar negeri negara itu yang tetap tidak berubah. Yakni Amerika-lah yang menjadi penentu siapa yang pantas menjadi Presiden di sebuah negara, di mana kepentingannya di negara tersebut, cukup banyak. Dan Indonesia termasuk negara yang memenuhi persyaratan tersebut.

Negara adidaya ini selalu merasa paling berhak menentukan nasib dari sebuah bangsa di dunia dan dengan cara itu, Amerika ingin menjaga statusnya sebagai “Polisi Dunia” atau “Regulator Dunia”.

Cerita Derwin tentang kekuasaan di Indonesia dan peran politik AS tetap menarik diikuti. Sebab setelah soal Joko Widodo, dia juga mengungkapkan tentang peran dia dan tim dalam melakukan ‘pengawalan’ terhadap SBY, Presiden ke-6 RI.

Sehingga citra SB Yudhoyono khususnya di publik Amerika Serikat dan negara-negara maju pada umumnya, selalu terjaga baik.

Menurut Derwin, selama SBY menjadi Presiden RI (2004 – 2014), setiap kali berkunjung ke Amerika, pasti ada sambutan positif dan liputan konstruktif terhadap Presiden RI tersebut.
Media utama seperti harian “The Washington Post” atau “The New York Times”, merupakan dua media yang selalu menyambut positif kehadiran Presiden RI di negeri Paman Saham.

Selain itu Derwin mengkleim, timnya juga yang membantu Mayor Agus Harymurti Yudhoyono , putera sulung SBY sehingga bisa masuk ke Harvard University, sebuah lembaga Pendidikan cukup bergengsi di dunia.

Tentu saja untuk itu semua, dilakukan atas perhitungan pekerjaan profesional. Derwin cs mengenakan biaya kepada keluarga Presiden RI dari Cikeas itu. Dan biaya tersebut, relatif cukup besar.

Tak lupa setelah ceritanya soal Joko Widodo dan SBY, Derwin sekaligus menawarkan kepada saya untuk mencari klien.

Klien yang dimaksudkannya orang Indonesia yang kaya raya dan punya ambisi agar anak atau anak-anaknya bisa menjadi pemimpin Indonesia di masa depan. Karena menurut dia, pemimpin yang baik itu harus dipersiapkan, dibekali dengan berbagai pengetahuan. Klien ini akan di-“grooming”.

Merespons tanggapannya, saya sebut beberapa nama anak elit Indonesia yang saya perkirakan mampu membayar “fee” puluhan milyar rupiah per tahun. Derwin pun tersenyum dan mengangguk tanda setuju terhadap nama-nama yang saya sebutkan.

“Anda akan mendapat komisi 10% dari setiap klien yang menanda-tangani kontrak dengan kami”, katanya yang dalam bayangannya berkisar 2,5 sampai Rp. 5,- milyar.

Sebagai wartawan yang belum pernah mendapat bayaran sebesar itu, iman saya tentu saja tergoda. Rasa percaya saya terhadapnya pun berubah.

Dia adalah contoh positif bagaimana seorang wartawan berkelas dunia, mampu “menjual” sebuah negara yang bermanfaat bagi kedua pihak. Artinya, Indonesia atau Presiden SBY “dijual”nya untuk tujuan positif, tetapi sebagai gagasan, idenya juga dihargai dengan mahal.

Dia sudah mendirikan perusahaan konsultan politik atas namanya sendiri yang berkiprah di ASEAN.

Salah satu kliennya, rezim militer Myanmar, yang cara mereka memimpin negara itu, meniru gaya Orde Baru. Dia juga bergabung dengan sebuah “think tank” yang berbasis di Amerika.
Sehingga bisnis konsultasi yang dilakukannya, merupakan sebuah kombinasi antara fakta lapangan dan analisa akademisi. Derwin sendiri lulusan London School of Economic, sebuah lembaga pendidikan tersohor di benua Eropa.

“Anda pasti tidak tahu bahkan mungkin tidak percaya. Bahwa kami sudah mempersiapkannya, sejak dia masih di Solo….”,kembali Derwin menjelaskan tentang perannya dan tim yang berhasil menjadikan Joko Widodo sebagai Presiden.
Maksud Derwin sejak Jokowi masih menjabat Walikota Solo.

Derwin sendiri sebelum ditempatkan di Washington, pernah bertugas cukup lama di Jakarta, sebagai koresponden suratkabar Singapura tersebut.

Dia lancar berbahasa Indonesia dan relatif memahami seluk beluk budaya politik dan pertarungan antar kekuatan politik di Indonesia.

Sekitar sebulan setelah pertemuan itu, Derwin menelpon saya lagi dan minta bertemu kembali. Dia selalu memilih Kempinski, salah satu hotel termewah dan termahal tarif kamarnya di Jakarta sebagai tempatnya menginap. Karena bagi dia, sebagai konsultan yang melayani kepentingan klien setara Presiden, pilihan tempat tinggal seperti itu, merupakan faktor penting.

Berbeda dengan sebelumnya, caranya kali ini, dia sudah seperti seorang atasan yang menagih perintah pekerjaannya kepada saya. Dia memposisikan diri sebagai bos.
Dengan posisi itu ia agak kecewa, sebab dari semua nama calon kilen yang saya sebut sebelumnya, belum satupun yang saya garap. Hal itu sengaja saya lakukan, sebab selain mau menguji keseriusannya, saya juga ingin meminta jaminan tertulis.
Atas ketidaksiapan itu, dia mewanti-wanti bahwa kalau saya tidak bergerak, maka jangan salahkan dia. Sebab nama klien berpotensi yang saya sebutkan, bisa saja dijaring oleh orang lain yang bekerja untuk perusahaannya. Dan itu berarti saya kehilangan hak berupa komisi 10%.

Cukup beralasan kalau Derwin bisa berbicara secara terbuka seperti itu. Karena kami berdua punya sejarah. Secara pribadi kami sudah ada perkenalan awal.
Di tahun 2006, kami berduet membantu Megawati Soekarnoputri untuk bisa terpilih kembali dalam Pilpres 2009 dengan catatan, itu semua berkat dukungan Amerika Serikat.

Kisahnya begini; setahun lebih setelah SBY mengalahkan Megawati dalam Pilpres 2004, Derwin diperkenalkan oleh Taufiq Kiemas, suami Megawati Soekanroputri, kepada saya.

Derwin yang saat itu masih bertugas di Amerika, berlibur ke Jakarta, membawa gagasan untuk Taufiq Kiemas.

Gagasan itu berupa kesediaannya meyakinkan tokoh-tokoh berpengaruh di Amerika Serikat (AS), agar dalam Pilpres 2009, AS mendukung Megawati Soekarnoputri terpilih kembali sebagai Presiden RI.

Salah satu di antara pelobi berpengaruh yang akan membantu Megawati, menurut Derwin adalah Henry Kissinger.

Disepakati, sekembali Derwin ke Washington, AS, dia akan melakukan tugasnya dan hasilnya disampaikan ke Taufiq Kiemas lewat saya.

Tapi gagasan itu tidak terlaksana. Karena di tengah jalan ada pelobi lain yang menelikung Derwin. Pelobi wanita asal Amerika, yang juga memiliki jaringan cukup luas di Indonesia, langsung ke Megawati Soekarnoputri.

Penjelasan soal penelikungan ini diceritakan Helmi Fauzi – kini Dubes RI untuk Mesir, yang di tahun 2006 itu juga menjadi salah seorang bekas wartawan yang cukup dekat dengan Taufiq Kiemas.
Helmi juga tahu tentang misi melobi para pelobi Amerika dalam rangka memenangkan Megawati dalam Pilpres 2009.

Pelobi wanita, inipun gagal. Boleh jadi karena dia tidak menyertakan Henry Kissinger, mantan Menlu AS yang melegenda. Atau karena “keberpihakan” AS kepada SBY sebagai petahana, sudah demikian kuat. Dan Mega pun gagal dalam Pilpres 2009.

Deal yang diminta Derwin, bila Megawati terpilih kembali, Taufiq Kiemas akan mengusulkan kepada PM Singapura, supaya Derwin-lah yang dipercaya menjadi Dubes Singapura untuk Indonesia.

Taufiq Kiemas punya alasan tersendiri mengapa “misi rahasia” ini dipercayakannya kepada saya, termasuk memperkenalkan pelobi Derwin Pereira.

Suami Megawati yang pernah ada yang menjulukinya sebagai Presiden Bayangan itu, bercerita bahwa ketidak terpilihan Megawati sebagai Presiden RI pada Pilpres 2004, karena faktor Amerika Serikat.

Pemilihan Presiden di Indonesia, baik proses dan hasilnya, menurutnya tidak lepas dari campur tangan Amerika Serikat dan sekutunya dari negara industri (Barat).

Taufiq Kiemas meninggal dunia pada 8 Juni 2013.
Menurut ceritanya di tahun 2004, pada akhir 1990-an, saat Amerika dan negara-negara Barat sudah tidak suka kepada Soeharto sebagai Presiden RI, kediamannya di daerah Kebagusan, Jakarta Selatan, menjadi alternatif perhatian. Kediamannya dikunjungi banyak tamu asing. Mereka rata-rata berstatus Duta Besar. Juga ada perwakilan konglomerasi.

Mereka ingin berkenalan lebih dekat dengan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP yang mereka posisikan sebagai Pemimpin Partai Oposisi. Dan dalam sistem demokrasi liberal dan parlementer, Ketua Partai Oposisi selalu berpeluang menjadi penguasa baru.

Pada awalnya, para tetamu itu datang sendiri-sendiri. Belakangan sudah berdua atau lebih maupun berkelompok. Dan frekwensi kunjungan pun dari waktu ke waktu berubah. Semakin intensif.

Bagi Taufiq Kiemas kedatangan tamu-tamu asing itu ke kediamannya, cukup menarik. Sebab letak rumahnya di daerah perkampungan rakyat. Untuk menembusnya, bukan hal yang gampang. Harus adan ekstra usaha. Harus melewati jalan yang relatif cukup sempit dan berliku.
Tapi itu semua tidak menghalangi para tamu asing itu mendatangi kediaman Taufiq dan Megawati.

Letak yang tersembunyi dan tidak banyak mendapat perhatian dari intel-intel Orde Baru, justru menjadi salah satu alasan para tetamu asing – merasa lebih bebas dan nyaman bercengkrama.

Tahun 1998 terjadi serangkaian kerusuhan di Jakarta dan puncaknya 20 Mei tahun itu juga, Presiden Soeharto mengundurkan diri. Soeharto digantikan BJ Habibie yang sebelumnya menduduki posisi Wakil Presiden.

Setahun kemudian, tepatnya Juni 1999 digelar Pemilu Reformasi. Peserta Pemilu lebih dari 10 partai. Tapi yang meraih suara terbanyak, PDIP.
Pelaksanaan Pemilu Reformasi 1999 merupakan komitmen Presiden Habibie. Pemilu dipantau oleh berbagai lembaga internasional. Dunia internasional merasa perlu memantaunya, berhubung inilah pemilu pertama yang dianggap bersih dari campur tangan rezim yang tengah berkuasa.

Sebagai pengawas, dunia internasional menetapkan
Jimmy Carter, bekas Presiden AS.
Untuk keperluan itu Jimmy Carter secara khusus membuka kantor di Hotel Borobudur Intercontinental degan nama “Carter Center”. Saat itu hotel Borobudur masuk dalam jaringan konglomerasi Amerika.
Ratusan personel yang Jimmy Carter bawa, semua berasal dari Amerika. Berbagai peralatan canggih berupa komputer dan alat komunikasi modern, yang di tahun itu masih langkah di Indonesia, langsung di-install di hotel yang terletak di dekat Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.

Tapi semua kejadian itu Taufiq Kiemas melihat adanya benang merah politik – demikianlah modus Amerika, ketika melakukan operasi diplomasi untuk meruntuhkan sebuah kekuasaan. Berbagai cara mereka tempuh dan lakukan. (Bersambung)

CATATAN TENGAH, 7 Mei 2017