Peluang & “Faktor Ahok” Dalam Proyek Rp. 743,- Triliun
Oleh Derek MANANGKA
JAKARTA – Di tengah tensi politik yang tengah memanas, akibat dari “Faktor Ahok”, diam-diam pemerintah pusat dan konglomerat swasta mempersiapkan dua buah proyek yang kalau disatukan, bernilai Rp. 743 ,- Triliun.

Dengan adanya kegiatan investasi seperti ini, secara tidak langsung pemerintah dan pengusaha swasta sedang menyatakan, “Faktor Ahok” bukanlah hal yang harus melemahkan semangat untuk bekerja dan membangun bangsa.

Atau “Faktor Ahok” harus diatasi dengan cara memutar dan menghindarinya. Yakni lakukan pekerjaan yang konstruktif yang hasilnya bisa dinikmati oleh semua kalangan. “The Business Must Go On !”

Begitu pula, melihat angka investasinya yang lebih dari sepertiga dana APBN 2017, hal ini bisa ditafsirkan pemerintahan Presiden Joko Widodo sedang “move on”.
Presiden ke-7 terus bergerak maju, bekerja dengan penuh optimis.

Lebih penting dari itu, Presiden Joko Widodo tidak terganggu oleh berita hasil investigasi wartawan AS, Allan Nairn. Bahwa Jokowi sedang menghadapi kemungkinan dilengserkan dari jabatannya di tengah jalan. “Mood” bekerja bekas Walikota Solo ini tetap stabil bahkan lebih tinggi dan tidak terpengaruh sama sekali oleh gangguan berbentuk apapun.

Memang proyek raksasa ini, belum bisa dikatakan “sudah di tangan”. Semuanya sedang diproses.

Proyek bernilai Rp. 465 Triliun baru akan disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pertemuan puncaknya dengan Presiden RRT Xi Jinping, 14 Mei 2017 mendatang.

Jokowi dan Jinping akan menggelar KTT One Belt One Road atau Jalur Sutra Asia di Beijing, pekan ini.

Tetapi optimisme atas diterimanya proyek infrastruktur itu, dan lebih dikosentrasikan pada pembangunan luar Jawa, cukup tinggi. Mengingat sebelum pembicaraan tingkat pemimpin puncak, pembahasan atas proyek tersebut sudah dimatangkan di tingkat pejabat senior (setingkat Direktur Jenderal) kemudian tingkat Menteri.

Sehingga di atas kertas, di KTT OBOR tinggal semacam sebuah pertemuan formalitas belaka.

Sementara itu, proyek swasta berupa pembangunan sebuah kotabaru bernama Meikarta, pengerjaannya, minggu lalu baru saja diumumkan Lippo Grup, selaku pemilik. Dengan total investasi Rp. 278, Triliun.

Proyek Lippo ini perlu didukung – sepanjang master plan, sesuai yang diumumkan baru-baru ini. Tapi yang paling penting lagi, dengan investasi ini menunjukan komitmen Lippo untuk tidak melakukan “capital flow”. Di tengah situasi politik yang bisa dikatakan tidak cukup kondusif, Lippo mengumumkan pengerjaan sebuah Mega Proyek.

Pengumuman ini bisa mempengaruhi pengusaha lainnya, sehingga merekapun bisa berlomba dengan Lippo. Tidakmelarikan modal ke luar negeri. Sehingga perlombaan ini akan menimbulkan spiral kegiatan ekonomi yang lebih baik.

Lippo dengan proyek ini setidaknya membuktikan komitmennya untuk membangun Indonesia lewat “Meikarta City”.

Jadi kedua proyek – OBOR dan Meikarta, memiliki makna strategis bagi pembangunan bangsa. Sudah pasti, bakal tersedot tenaga kerja yang cukup banyak dan implikasinya pada perputaran bisnis, bakal terjadi.

Investasi kedua proyek ini seperti gula – dimana cepat atau lambat semut-semut akan mengerumuninya. Kerumunan di sini merupakan kiasan. Yang bermakna positif. Banyak semut yang akan menikmati gula yang ditimbulkan kedua proyek ini.

Namun bersamaan dengan itu, kedua proyek ini memiliki sejumlah tantangan. Terutama jika dikait-dikaitkan dengan persoalan politik psikologis yang ada di masyarakat.

Disengaja atau tidak, kedua proyek ini bakal diganggu oleh berbagai kalangan.

Masalah psikologis politis di sini, terutama menyangkut isu yang ckup sensitif.

Bakal ada yang melihat keduanya dari sisi sinisme, sarkartis ataupun ketidak sukaan. Bahwa keduanya lebih memberi keuntungan kepada “Cina”. Jadi di sini ada “Unsur Cina”.

Sementara isu “Cina” di Indonesia tengah menjadi soal yang mengganggu kekerabatan di dalam masyarakat. Walaupun tidak bisa dikatakan, perasaan anti-Cina di Indonesia sudah demikian tinggi, tetapi istilah Cina sedang menjadi sebuah stigma ataupun sebuah stereotype.

“Cina” dalam pengertian RRC atau RRT, sedang disebut-sebut oleh kelompok penentang Joko Widodo, sebagai pihak “aseng” sekaligus “asing” yang berideologi komunis.

Isu ini semakin mengemuka, sebab secara kebetulan RRT saat ini merupakan pesaing berat Amerika Serikat dalam berbagai hal.

Masalah komunis asal RRT akan terus dieksploitasi sebagai sebuah ancaman bagi Indonesia sebagai negara Pancasila. Indonesia tidak pantas bekerja sama dengan negara komunis, dan seterusnya.

Begitu kurang lebih frasa yang dimaksudkan untuk menunjuk tingkat ancaman RRT.

Sementara Amerika Serikat sebagai negara anti-komunis dan jelas-jelas yang membantu RRT untuk menjadi sebuah negara kapitalis, dikesampingkan jauh-jauh. AS bukanlah sebuah ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Walaupun sebenarnya banyak yang tidak jujur bahwa yang menyebabkan sistem politik Indonesia saat ini menjadi seperti politik liberal – dan berakibat demokrasi keblabasan, tidaklain sebagai akibat campur tangan LSM-LSM Amerika dalam mengamandemen UUD 45.

Terjadinya dualisme dalam sistem pengambilan keputusan, dimana UUD 45 hsil amandemen 2002 bertentangan dengan Panca Sila, tidak lepas dari campur tangan LSM Amerika.

Padabagian klain, “Unsur Cina” menjadi faktor pembeban, bila pembangunan kota baru Meikarta dikaitkan dengan kepemilikan proyek itu oleh Lippo. Sebab pendiri Lippo Mochtar Riyadi maupun puteranya James Riyadi, juga bagian dari pengusaha “Cina” yang banyak disorot.

Sehingga jika “unsur-unsur Cina” ini digoreng dan dipolitisasi, dampaknya bakal berimbas ke persoalan yang berada di luar isu investasi.

Yang berada di luar investasi itu, bisa bermakna soal “Faktor Ahok” atau karena soal kecemburuan sosial maupun alasan-alasan yang lebih bersifat politis.

Sehingga ketika “Faktor Cina” dan “Faktor Ahok” bertemu, sebagus dan sebermanfaat apapun, investasi berniali Rp. 743,- Triliun tersebut, (465 + 278) tetap terkendala.

Nah di sinilah muncul sebuah tuntutan, dimana pemerintah harus mampu menjelaskan kepada publik yang tengah dilanda oleh “Phobi Cina”, stereotype “Aseng” dan stigma “Asing”.

Sebuah keberanian, ketegasan dan kejujuran dalam menjelaskan isu ini, mutlak diperlukan. Jika ini berhasil, pekerjaan apapun yang dikerjakan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo – dengan siapa saja pemerintah melakukan koalisi dan kolaborasi, tak akan menimbulkan gejolak dan persoalan. Semoga. *****