JAKARTASATU – Pengamat hukum, Prof. Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa apabila pemerintah membubarkan ormas dengan tanpa melewati pengadilan tetapi tetap membuka peluang melakukan perlawanan seperti melakukan tindakan sewenang-wenang.
“Kalau Presiden diberi kewenangan membubarkan ormas lebih dahulu, meskipun ormas itu dapat melakukan perlawanan ke pengadilan, secara diam-diam kita telah membuka pintu untuk Presiden bertindak sewenang-wenang. Kalau kedudukan Presiden makin kuat akibat kesewenang-wenangan itu, lambat laut Presiden akan kembali memusatkan kekuasaan di tangannya dan mendikte lembaga lain termasuk pengadilan,” demikian siaran persnya yang diterima jakartasatu.com, Kamis (18/05/2017).
Yusril, ingat ketika itu Presiden Sukarno membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan Keppres Nomor 200 Tahun 1960. Ketika Masyumi melawan ke pengadilan melalui Mohamad Roem, pengadilan mengatakan tidak berwenang mengadili perkara itu, karena membubarkan partai adalah “beleid” atau kebijakan eksekutif yang tidak dapat dinilai oleh badan yudikatif.
“Kalau Presiden bisa membubarkan ormas melalui Keppres, maka sebagai sebuah penetapan (beschikking) kewenangan mengadili keputusannya ada di pengadilan tata usaha negara. Di era Presiden Joko Widodo ini alangkah banyaknya putusan tata usaha negara yang berkaitan dengan politik yang sudah berkekuatan hukum tetap yang tidak mau dilaksanakan oleh Pemerintah, bahkan yang paling depan tidak mau melaksanakannya adalah Menteri Hukum dan HAM,” jelas Yusril.
Yusril mengeluarkan pernyataan ini merespon Jimly Asshiddiqy yang saat itu menyarankan agar Jokowi membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila melalui Keputusan Presiden (Keppres) dengan tetap memberikan peluang bagi ormas tersebut untuk melakukan perlawanan melalui pengadilan. Kalau pengadilan memenangkan Presiden, maka ormas tersebut bubar selamanya. Namun jika Presiden dikalahkan pengadilan, ormas tersebut dapat dihidupkan kembali. | RI/JKST