Hendrajit Direktur Eksekutif Global Future Institute/ist

OLEH HENDRAJIT

Kalau membahas Pancasila 1 Juni 1945, kita kudu kesampingkan dulu soal suka atau tidak suka kepada Mak Banteng.Atau kemungkinan adanya kepentingan tersembunyi dari para kroni Jokowi.

Selain itu, lupakan dulu soal membanding-bandingkan lima sila versi BK, Yamin, Piagam Jakarta, dan 18 Agustus 1945. Tanpa paham lebih dulu narasi sejarah kala itu, langsung ujug-ujug banding-bandingkan ketiga konsep lima sila tadi, perdebatan akan ngambang karena ga jelas mana ujung dan mana pakalnya.

Menurut saya, benang merah yang harus jadi pedoman dalam membaca dinamika yang berkemabg di Sidang BPUPKI antara Mei hingga 18 Agustus 1945, adalah soal mendudukkan peran dan kontribusi Bung Karno dalam mewarnai pembentukan dasar negara atau stat fundamental norm yang kelak disebut Pancasila. Lantas, bagaimana kontribusi dua tokoh sentral lainnya, yang sebenarnya juga kalah penting, yaitu Mr Muhammad Yamin dan Mr Supomo. Kebetulan keduanya adalah ahli hukum.

Secara obyektif berdasarkan fakta sejarah, selain Bung Karno yang ikut mewarnai perumusan konsepsi Pancasila dan undang-undang dasar 1945 adalah Muhammad Yamin dan Mr Supomo. Dengan demikian, kalau bicara soal hasil akhir perumusan UUD 1945 yang mana Pancasila termasuk di dalamnya, memang ini merupakan kerja kolektif. Bukan cuma Sukarno saja.

Namun kalau bicara draf konsepsi Pancasila, harus diakui Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 memang yang paling menggelagar dan dapat sorotan luas dari berbagai kalangan. Maka tak heran jikan dalam rapat-rapat di tingkat komisi dan sub komisi, yang bermuara pada terbentuknya Panitiai 9 dan tim perumus UUD 1945 yang di dalamnya terkandung Pancasila, draf pidato BK 1 Juni 1945 menjadi rujukan utama.

Ini bukan soal karena BK itu lihai dalam retorika dan punya daya persuasi yang luar biasa, tapi karena isi dan materi pidatonya memang sangat bernas, langsung menjawab inti persoalan yang menjadi aspirasi tersurat maupun yang tak terucap dari para anggota BPUPKI, mengarah pada satu agenda pokok. Jangan berdebat soal bentuk negara, tapi marilah fokus apa dasar negara dan dasar falsafah negara. Yang beliau istilahkan sebagai Filosofiche Groundlag. Tersirat BK mau mengatakan, kalau dasar negara ini clear, bentuk negara macam apa dengan sendirinya tergambar dan terjawab. Kalaupun republik, republik yang khas kita. Kalau kerajaan, pun juga khas Indonesia. Selain itu, melalui narasi pidatonya, BK juga memproyeksikan macam apa model kenegaraan Indonesia yang bakal terbentuk, dan bagaimana interkasinya dengan negara-negara asing atau negara negara tetangga.

Namun untuk obyektifnya, ada baiknya membandingkan pidato Yamin dan Supomo sebagai bahan perbandingan. Kalau menurut pandangan saya, yang terus terang 1 Juni 1945 maupu n 18 Agustus 1945 merupakan satu tarikan nafas, pidato Bung Karno 1 Juni 1945 itulah yang paling nyetrum sebagai draf atau rancangan gagasan perumusan dasar negara yang kelak bernama Pancasila.

(untuk mengulas secara lebih tajam dan rinci pidato BK pada 1 Juni 1945 maupun perbandingan sekilas dengan pidato Yamin dan Supomi, ada baiknya nangti saya buat tulisan tersendiri, dengan merinci poin poin penting dari pidato tersebut).

Kembai ke perbandingan pidato BK, Supomo dan Yamin, memang keunggulan BK terletak membangun reasoning atau alasan kenapa dasar negara itu dulu yang lebih penting disepakati dan dibuat, bukan memperdebatkan apakah negara Indonesia merdeka nanti itu berbentuk republik atau kerajaan).

Nah, pada poin pembuka ini, kalau dalam istilah penulisan di jurnalistik, namanya lead berita. Pada tataran lead berita ini, Bung Karno sudah lebih unggul dibanding Yamin dan Supomo. Bukan unggul pada tataran narasi atau penjabaran gagasan, karena keduanya juga ahli hukum yang piawai. Namun BK unggul dalam memberi warna politik kenegaraan yang mendahului jabaran dasar negara yang kelak jadi Pancasila itu.

Nah, sekarang kalau soal perbedaan tiga konsepsi lima sila versi Yamin, BK, Piagam Jakarta dan 18 Agustus 1945, secara tersurat jelas beda memang dengan yang sekarang kita kenal berdasarkan ketetapan 18 Agustus 1945.

Namun teman teman, terutama yang paham organisasi dan tata cara persidangan, apa yang ditawarkan pada rapat pleno, memang harus difinalisasi di rapat tingkat komisi, baru kemudian kesepakatan komisi dilempar kembali ke rapat pleno, kemudian disahkan.

Dan pada tataran proses itu semua, fakta sejarah membuktikan Bung Karno merupakan figur sentral dan pemain kunci. Tanpa mengurangi peran penting dari Yamin, Hatta, Agus Salim, Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Latuharhari dan Sam Ratulangi. Hasil akhirnya ya itulah yang kemudian ditetapkan pada 18 Agustus 1945.

Di luar soal nuansa politik di balik perdebatan antara apakah 1 Juni atau 18 Agustus 1945, yang perlu adanya klarifikasi nasional adalah, apa reasoning kok lahir Pancasila itu 1 Juni 1945.

Apakah ingin menghargai BK sebagai inspirator yang mengilhami perumusan dasar negara yang kelak bernama Pancasila? Atau karena ada yang beranggapan bahwa Sukarno lah perumus dan penemu tunggal Pancasila? Aspek ini yang harus diklarifikasi, sekaligus jelas pula narasi sejarahnya.

Kalau 1 Juni 1945 tersirat merupakan pengakuan bahwa BK merupakan inspirator lahirnya dasar negara Pancasila saya setuju 100 persen. Bahwa kemudian tata urut dan peristilahan kemudian berbeda dengan hasil yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945, sebagai dinamika politik sangat wajar dan memang harus begitu.

Karena Rapat Pleno BPUPKI yang dipimpin Dokter Rajiman Widiodingrat tersebut, menurut saya rapat paling demokratis namun penuh kearifan dari para bapak bangsa. Yang menurut saya belum ada duanya dibandingkan era sidang sidang MPR di era Sukarno maupun era Suharto.

Makanya saya sering mengajak berbagai kawan kawan pergerakan, bagaimana kalau MPR kita selain dikembalikan dalam semangat UUD 1945 asli, juga harus mensimulasikan kembali rapat rapat pleno BPUPKI dan PPKI antara Mei hingga 18 Agustus 1945. Sebab menurut saya Rapat BPUPKI itu merupakan MPR yang sesungguhnya dan tipe idel MPR yang khas Indonesia. Dinamis, aspiratif, , demokratis naun penuh kearifan.

Jadi kenapa harus aneh ketika konsepsi draf dasar negara yang diajukan Sukarno kemudian berbeda dengan hasil akhir 18 Agustus 1945? Dalam pandangan saya, meski berbeda urutan dan konsepsi dari 4 konsepsi lima sila tadi, sejatinya tidak ada perbedaan. Menurut saya sih pas can cocok cocok saja dengan kosnepsi Yamin dan bahkan versi Piagama Jakarta, yang semula para pemuka Islam menghendaki adanya 7 kata dimasukkan. Tapi toh kebesaran jiwa para pemimpin dan ulama Islam, akhirnya bersepakat juga.

Apakaha Bung Karno kecewa dengan hasil versi 18 Agustus 1945 karena beda dengan konsepsi awal beliau? Kalau saya cermati dari otobiografi BK sendiri seperti ditulis Cindy Adam, maupun biografi tokoh tokoh sentara lainnya seperti Bung Hatta, BK malah lebih fokus gimana bersama-sama dengan Bung Hatta membujuk tokoh pemuka Islam agar berjiwa besar melepas 7 kata demi kepentingan nasional yang lebih besar, daripada mengurusi kenapa kok Pancasila yang jadi draf yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945 berbeda dengan konsepsi yang disampaikan dirinya (BK) pada 1 Juni 1945.

Dari situ saya kalau boleh menafsirkan dinamika kenegaraan menjelang dan setelah Indonesia merdeka, buat BK yang penting kerangka pemikiran dan kerangka analisis dirinya diterima oleh sidang BPUPKI dan ditindaklanjuti dalam rapat rapat tingkat komisi seperti Panitia 9 dan tim perumus UUD 1945.

Semuanya bermuara dan bertitiik tolak dari Bung Karno. Dan itu pula sebabnya, BK dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Primus Interpares. Yang utama di antara para pemimpin. Dan semua aklamasi setuju dan tanpa voting-votingan segala kayak sekarang.

Lantas, pendirian politik saya gimana? Saya kira kalau konstruksi cerita saya bisa disetujui, sepanjang 1 Juni 1945 ditetapkam sebagai lahir Pancasila dalam konteks menghargai peran BK sebagai inspirator terciptanya Pancasila saya kira masyarakat Indonesia yang paham dan menghayati sejarah, tidak berkeberatan.

Namun jika ada para pihak yang bermaksud memelintir persoalan 1 Juni 1945 seakan-akan untuk menegaskan peran tunggal BK sebagai penemu Pancasila, saya khawatir mereka ini justru sedang membusukkan dan mendegradasikan peran kesejarahan Sukarno yang sesungguhnya pada fase fase menentukan antara Mei hingga 18 Agustus 1945. | POROSNEWS.COM