Nugroho Prasetyo

JAKARTASATU – RRC sedang menjalankan hybrid war (gabungan antara perang kovensional bersenjata, kriminal, serangan cyber, propaganda dan eksploitasi kelemahan hukum internasional) di Asia.

Di tengah kecenderungan perang tanpa bentuk (amorf), selain kekuatan militer, senjata utama mereka adalah ekonomi. Ini bukan narasi para penggemar teori konspirasi.

Perspektif mengenai hybrid war ini penting dipahami untuk melihat sejumlah persoalan yang mewarnai hubungan Indonesia-RRC dewasa ini. Berhadapan dengan pergeseran geopolitik global, sudut pandang monodimensional tentu saja akan membuat kita kehilangan jejak atas posisi sesungguhnya dari sebuah isu.

Akibatnya, kita gagap membaca ancaman nasional. Patut dicatat, sejak mendeklarasikan diri sebagai “Negara Maritim” (1978) di era Deng Xiaoping, kekuatan Angkatan Laut RRC diletakkan di level Blue Water (sekelas Amerika Serikat dan Inggris).

Mereka berambisi merambah Lautan Hindia. Untuk memenuhi ambisinya tersebut, selain membangun dermaga-dermaga di pantai Timur dan Selatan, RRC juga melakukan pipanisasi sepanjang 2.300 km dari Teluk Bengal, Myanmar, sampai Kunming.

Termasuk pula memanfaatkan negara-negara kelompok Greater Subregion Mekong (GSM). Bahkan, dalam pertemuan GSM di Viantine, Laos, disepakati pembangunan jalan raya trans-nasional sepanjang 1.800 km dari Kunming sampai ke Bangkok dan Yunan.

Maritime Oriented di masa kepemimpinan Xi Jinping menempatkan matra laut sebagai skala prioritas kekuatan nasional RRC. Pemerintah Beijing menempuh serangkaian kebijakan strategis seperti itu semata-mata demi : (1). melindungi kedaulatan Laut Teritorial 12 mil di sepanjang pantai yang membentang 18.000 km dari Utara ke Selatan (ZEE yang meliputi luas 3 juta km2 di Laut Cina Timur, Laut Cina Selatan dan Laut Kuning, sebagaimana telah diakui oleh Hukum Laut 1982,

(2). melindungi ke-13 propinsi (dari Liaoning di Utara sampai Guangdong di Selatan) di sepanjang pantai yang telah menyumbang 70% GDP, sehingga tingkat pertumbuhan nasional mencapai rata-rata dua digit per tahun selama dua warsa terakhir,

(3). melindungi wilayah laut yang memiliki sumber daya mineral sebanyak 8 miliar ton, sehingga pada tahun 2000 mampu memproduksi 500 juta ton minyak mentah di lepas pantai, dan (4). melindungi SLOC’s bagi keamanan 90% perdagangan internasionalnya yang diangkut oleh -+ 100 kapal asing per hari.

Blak-blakan saja, saya termasuk orang yang was-was dengan tindak-tanduk Beijing. Herannya, mengapa pemerintah RI tidak menerapkan kontra strategi demi melindungi kepentingan nasional sebagaimana dulu leluhur saya, raja terakhir Singosari, Kertanegara, mengoperasikan Ekspedisi Pamalayu? Ada apa ini?

NUGROHO PRASETYO