Rocky Gerung dalam diskusi Reboan di Indonesia Democracy Monitor (Indemo), di Jl Lautze 62 C, Jakarta Pusat, Rabu (7/6) memaparkan Pancasila sebagai sekedar “tools of politics” dan lebih parah lagi sebagai pembatas antara “kami yang pluralis” dan “mereka yang fundamentalis”.
Karena semua dianggap sudah ada jawabannya melalui Pancasila, tandas Rocky, maka siapapun penguasa memperlakukan Pancasila untuk “turun tangan” mengatasi segala macam jenis penyakit. Akibatnya bangsa ini kehilangan kemampuan dalam memproduksi gagasan.
“Tetapi realisasi dari “turun tangan” itu pernah justru sangat menyakitkan: Orde Baru sangat ringan tangan menghukum oposisi dengan Pancasila,” lanjut Rocky.
Di sini Pancasila, papar Rocky, hanya dipraktekkan sebagai ideologi pembungkam kritik ketimbang sebagai pembuka dialog. Bahkan pascareformasi ideologi ini terasa atavistis, karena klaim Soekarnoistiknya begitu tampil dominan.
“Bahkan kini Pancasila diperlakukan sebagai garis batas antara pendukung rezim dan pengkritiknya. Bahkan pengertiannya diperluas menjadi penentu, siapa yang pluralis dan siapa yang fundamentalis. Pancasila dijadikan alat ukur politik. Alat ukur yang kaku bagi kebhinnekaan,” kritiknya.
Sekarang ini kritik terhadap rezim, lanjut Rocky, dianggap sebagai ancaman terhadap kebhinnekaan. Karena baik secara terbuka atau terselubung, ada psikologi lama yang kini diedarkan lagi di masyarakat, bahwa pengkritik rezim identik anti keberagaman, juncto Pancasila.
“Psikologi ini tumbuh dari arogansi yang memandang kritik kepada rezim sebagai ancaman pada kebhinnekaan,” tuturnya.
Di sinilah Rocky melihat bahwa Pancasila justru menjadi pembelah masyarakat karena kalkulasi politik yang terbalik di Ibukota.
“Intelektualisasi bahkan diperlihatkan untuk menebalkan batas antara pendukung dan pengritik rezim. Dibungkus dengan slogan-slogan teoritis, Pancasila dijadikan alat “fit and proper test” kebhinnekaan. Suatu metode naif dalam berpolitik,” kecam Rocky.
Di era Orde Baru, terang Rocky, teknik ini dipraktekkan dengan bantuan kaum intelektual yang dikendalikan oleh negara. “Sekarang teknik ini justru dikerjakan oleh elemen-elemen masyarakat sipil yang juga terpelajar yang panik terjadap gejala delegitimasi rezim,” ujarnya.
Gejala itu disebut Rocky yang juga dosen filsafat politik UI itu sebagai voluntarisme kekanak-kanakan karena mereka memang gugup dan gagap melihat kapasitas rezim yang ternyata tidak cukup “fit and proper”.
Sedangkan Hariman Siregar menilai, kondisi sekarang ini berbeda antara persoalan dan jawabannya. Persoalannya A tapi jawabannya bisa C atau D. Jadi si A tidak pernah ketemu. “Tapi bukan berarti meraka tidak mengerti persoalannya,” ucapnya.
“Kita jangan under estimate ya Rocky. Mereka tahu kok persoalan sebenarnya, yaitu kesenjangan sosial. Tapi memang sengaja tidak dijawab biar nggak kebongkar,” beber Hariman.
Namun Hariman setuju dengan gagasan Rocky Gerung membuka dialog yang lebih jujur dan terbuka untuk memulai pemaknaan baru dan pengayaan Pancasila tanpa dibatasi oleh sikap eksklusivisme sejak awal. Ya, bagaimana mungkin terjadi konsensus kalau di satu pihak menyandang stigma fundamentalis sedangkan lainnya menikmati arogansi pluralis?
Dan memang tidak pada tempatnya apabila Pancasila sekedar dijadikan tapal batas antara kami yang membusung dada sebagai pluralis dan mereka yang fundamentalis. | NRM