Untuk melewati tantangan masa depan, bangsa Indonesia butuh :
1. Menghikmati rasa hayat sejarah (historisch-leven gevoels).
2. Menemukan kembali jati diri.
3. Menentukan siapa sejatinya musuh bersama (common enemy).
4. Menempuh Ruptura Pactada.
5. Memiliki nilai bersama (collective behaviour).
6. Menentukan titik berangkat bersama.
7. Menentukan terminus ad quem (titik tuju) perjalanan sejarah.
7 hal tersebut di atas tidak pernah dirumuskan secara konseptual dalam sebuah gagasan besar selama 19 tahun terakhir. Sebaliknya, di Era Reformasi ini kita malah terjerumus ke dasar jurang yang sengaja digali oleh konspirasi jahat asing (AS, UE, RRC, dkk). Celakanya, kita menikmati masa-masa memabukkan itu. Akibatnya fatal, kita lupa tujuan berbangsa dan bernegara.
Kita semua terlena. Oleh sebab itu, saya menawarkan kontra skema Reformasi yang disebut Rekonstruksi. Agar antitesa Reformasi ini berjalan sebagaimana mestinya, maka saya mem-break down pokok-pokok pikiran saya tersebut lebih runtut. Untuk itu, saya berikhtiar menyusun semacam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam sebuah buku berjudul “Manipol 88” setebal 88 halaman. Besar harapan saya, “GBHN” berhorizon jangka panjang itu bisa menjadi pondasi kukuh bagi perjalanan panjang bangsa ke depan.
Di dalam buku tersebut, saya menawarkan beberapa gagasan sebagai berikut :
1. Revitalisasi Pancasila.
2. Reposisi UUD 1945.
3. Pembekuan seluruh produk legislasi yang diametral dengan kepentingan nasional.
4. Rekonstruksi (antitesa Reformasi) dalam skala masif dan total alias Rekonstruksi Total.
5. Indokrasi (konsep demokrasi antitesa Demokrasi Liberal).
6. Indonomi (konsep ekonomi antitesa Ekonomi Liberal).
7. Ruptura Pactada.
8. Konsep kontra skema perang asimetri “Ekspedisi Pamalayu II”.
9. Sabuk Atlantis (OBOR-nya Indonesia).
10. Blue Politic (Politik Maritim Nasional).
11. Green Politic (Politik Pertanian Nasional).
12. 8 Program Aksi Transformasi Bangsa (Rencana Transformasi Nasional 2019). 13. Indonesia 4.0
14. Republik Keempat
Semoga gagasan-gagasan tersebut di atas menjadi gapura pembuka lahirnya “Era Baru, Indonesia Baru”. | NUGROHO PRASETYO