NUGROHO PRASETYO

OLEH NUGROHO PRASETYO

Di masa kepemimpinannya, selain membangun Route Six Highway (1925) sepanjang 5.158 km, Franklin D Roosevelt juga membangun Fort Peck Dam di Timur Laut Montana (1933).

Bendungan yang membelah Sungai Missouri itu dibangun oleh 11.000 pekerja. Proyek pembangunan ini termasuk bagian dari program integral “New Deal” demi memulihkan kondisi perekonomian domestik pasca Amerika Serikat dihantam “Great Depression”. Demikian pula Adolf Hitler. Pemimpin NAZI itu membangun Autobahn (1930) saat Jerman masih disandera kesulitan keuangan.

Roosevelt dan Hitler melakukannya secara padat karya. Mereka melibatkan partisipasi publik. Di sini sebaliknya yang terjadi, pembangunan infrastruktur malah disubdordinatkan kepada skema Turnkey Project Management (TPM)-nya RRC. Baik modal, teknologi, bahkan tenaga kerjanya disupply oleh RRC. Arus deras masuknya TKA sengaja tak dibendung. Pekerja lokal kalah tempat.

Kita tak lebih dari pemilik proyek yang mengkuasakan sepenuhnya pekerjaan kepada maincon. Beda spirit, beda kemasan, berbeda pula hasil akhirnya bila dibanding dengan role model Roosevelt dan Hitler di atas. Pada akhirnya, proyek insfrastruktur nasional hanya dimanfaatkan oleh RRC sebagai jalan masuk untuk mendekati sumber-sumber energi.

Sebelum pemerintahan Jokowi jualan proyek pembangunan listrik 35 ribu MW, pemerintahan SBY juga punya megaproyek pembangunan listrik 10 ribu MW. Jadi, agenda pembangunan infrastruktur bukanlah hal baru.

Jika Orde Baru jor-joran melakukan pembangunan infrastruktur ketika negara menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak gila-gilaan pada awal dekade 1970-an, pemerintahan SBY melakukannya pada saat sedang menikmati booming harga komoditas. Kini, pemerintah melakukannya saat negara tidak punya duit dan mereka melakukannya dengan terus-menerus mengorbankan rakyat kecil sebagai penebus timbunan utang luar negeri.

Bagi rezim yang sedang berkuasa, nasionalisme mestinya tak lagi digunakan sebagai jargon atau retorika, melainkan jadi praktek. Di level praktek, menyerahkan pembangunan infrastruktur nasional kepada skema asing tidak koheren dengan jargon Trisakti yang didengung-dengungkan selama ini.

Hari ini, Indonesia makin menjauh dari imajinasi Soekarno saat ia mengucapkan Proklamasi Kemerdekaan (17/8/1945).