JAKARTASATU – Dalam kemiskinan rasa hayat sejarah, kita melepaskan ikatan emosional dengan masa silam yang gilang-gemilang. Akibatnya, kita tertatih-tatih menetapkan “titik berangkat bersama” menuju masa depan. Kita menerima dengan takzim disebut bangsa muda, hanya karena Inggris memaklumatkan Magna Charta (1215) yang membatasi monarki, sementara Kerajaan Singosari baru didirikan oleh Ken Arok. Saat Eropa dilanda renaisans, kita masih mendekap takhayul.
Rasa rendah diri ini menyesatkan. Kita punya Borobudur dan banyak prasasti adiluhung hasil olah rasa-karsa-karya leluhur. Kita juga punya Sriwijaya dan Majapahit, bukti riil kedaulatan maritim Nusantara jauh sebelum Britania Raya menguasai dunia. Kita kedodoran meneruskan peran pemersatu negara-negara bekas jajahan melanjutkan kiprah Bung Karno memimpin Konferensi Asia-Afrika (1955) dan menawarkan Pancasila di Majelis Umum PBB (To Build the World a New, New York, 1960). Semua kejayaan itu seolah onggokan artefak, beku di lorong gelap sejarah.
Singkat kata, kita terjebak kebodohan kolektif yang bermula dari kemiskinan karakter yang berujung kesulitan untuk melakukan transformasi bangsa. Kita enggan menjaga marwah kedaulatan dan sukarela masuk pusaran globalisasi. Padahal, kemajuan selalu berpangkal dari kemandirian sebagaimana Jerman, AS, Inggris, Jepang, RRC dan Korea Selatan tak pernah berkompromi dalam meneguhkan kepentingan nasionalnya. | NUGROHO PRASETYO