Wiranto dan Yusril

PUSAT STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

PERPPU NO. 2 TAHUN 2017 TENTANG ORMAS:
KEMUNDURAN PROSES PANJANG REFORMASI

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI No. 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas) yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017 yang lalu, adalah bagaikan “senjata pemusnah massal” terhadap hak politik rakyat yang tidak hanya berimplikasi pada pembubaran organ masyarakat, namun juga berpotensi mengkriminalkan anggotanya baik yang langsung maupun yang tidak langsung melakukan perbuatan yang dilarang dalam Perppu. Bagaimana tidak, Pasal 82A Perppu tersebut menyatakan bahwa “setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut faham yang bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) dapat “dipidana seumur hidup atau pidana penjara penjara paling singkat 5 (lima tahun) dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”.

Hal ini jelas bertentangan dengan Konstitusi RI yang telah memberikan jaminan bagi kemerdekaan berserikat dan berkumpul sebagai salah satu hak asasi yang diakui secara universal. Bahkan hak menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan juga menjadi salah satu yang dijamin hak konstitusionalnya sejak masa kemerdekaan RI. Oleh karena itu, jika Perppu dimaksud dibiarkan hidup, maka “senjata” ini tidak hanya akan mematikan Ormas yang belakangan menjadi hot issue saja, tapi akan juga entitas lainnya yang diinisiasi oleh warga negara, bahkan termasuk Ormas yang menggunakan Pancasila sebagai nama organisasinya.

Perppu ini membuka peluang kepada Pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang dengan membubarkan Ormas yang secara subyektif dianggap Pemerintah bertentangan dengan Pancasila, tanpa melalui proses peradilan. Hal ini sama artinya dengan kemunduran demokrasi di tanah air, jauh sebelum ide reformasi terpikir oleh mahasiswa.

Atas dasar itu, kami dari Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa Perppu No. 2 Tahun 2017 bertentangan dengan Konstitusi RI dan mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Pernyataan tersebut didasarkan kepada hal-hal berikut:

1. Penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 harus dibentuk berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan mengacu kepada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam hal ini, Perppu tersebut tidak memiliki urgensi untuk dibentuk karena tidak ada kegentingan yang memaksa sehingga Presiden perlu menerbitkan Perppu tentang Ormas.
2. Substansi Perppu sangat berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia karena membatasi hak berserikat dan berkumpul bagi warga negara. Perppu ini juga berpotensi menimbulkan kepemimpinan yang otoriter karena proses pembubaran Ormas tidak melalui suatu proses hukum melalui lembaga peradilan. Lebih daripada itu, pemerintah juga harus dibiasakan diri dalam membentuk norma yang menerapan sanksi pidana, tidak boleh tanpa adanya persetujuan dari lembaga perwakilan. Kita akan setback jauh ke masa lampau manakala membiarkan organ eksekutif menerapkan sanksi pidana dan memenjarakan warga negara tanpa consent dari cabang kekuasaan negara lainnya. Apalagi kondisi ini juga sudah termaktub dalam pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi RI dalam Putusan MK Nomor 132/PUU-XII/2015.
3. Selama 3 (tiga) tahun perjalanan pemerintahan Presiden Jokowi, setidaknya telah diterbitkan 4 perppu; yang kebetulan dalam 2 (dua) bulan terakhir ini pemerintah telah menerbitkan 2 Perppu, dalam kondisi keamanan dan politik yang tidak genting apalagi memaksa. PSHTN FHUI menilai hal ini menunjukkan indikasi adanya hubungan yang tidak baik antara Presiden dengan DPR dalam proses pembentukan legislasi, karena Presiden terkesan ingin bypass dalam menerbitkan suatu norma undang-undang dengan menggunakan baju Perppu.
4. Di dalam pertimbangannya, pemerintah ingin menerapkan asas contrarius actus dalam Perppu Ormas. Asas itu secara singkat menjelaskan bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau memberikan pengesahan terhadap ormas juga berwenang membatalkannya. Penerapan asas itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak paham mengenai perbedaan antara izin dan pengesahan. Dalam penerbitan izin, memang pemberi izin dapat serta merta mencabut izin dengan syarat tertentu. Tapi khusus untuk pengesahan, kecuali ada syarat formil yang dapat membatalkan pengesahan tersebut, instansi yang mengeluarkan pengesahan tidak dapat serta merta mencabutnya. Apalagi dengan menggunakan tafsir subjektif pemerintah.
5. Logika yang digunakan pemerintah dengan menggunakan asas contrarius actus tersebut sangat berpotensi juga digunakan untuk jenis badan hukum lainnya yang membutuhkan pengesahan dari pemerintah seperti Yayasan dan Partai Politik.

Atas pertimbangan tersebut, kami mendesak kepada DPR untuk menolak Perppu No. 2 Tahun 2017 tersebut pada masa sidang berikutnya, serta turut mendukung upaya dari kelompok masyarakat untuk memohon pembatalan norma-norma yang represif tersebut ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI.
PSHTN FHUI juga mengingatkan kembali kepada Pemerintah untuk senantiasa mengelola negeri ini sesuai dengan koridor hukum yang berdasarkan Konstitusi. Kewenangan Presiden dalam membentuk Perppu ini jangan sampai disalahgunakan untuk menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru dan mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia.

Jakarta, 14 Juli 2017