PUTUS ASA BERNEGARA DITENGAH KETIDAK MANDIRIAN PARTAI BER POLITIK

Oleh : Ferdinand Hutahaean
Rumah Amanah Rakyat
Bela Tanah Air

Waktu terus bergulir mendekati 3 tahun penuh Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia sejak mengucapkan Sumpah Jabatan pada tanggal 20 Oktober 2014 silam. Tersisa 93 hari lagi atau kurang dari 100 hari lagi, pemerintahan ini genap berusia 3 tahun. Usia yang tersia-siakan oleh Jokowi, padahal lazimnya dalam sebuah pemerintahan 5 tahunan, 3 tahun pertama itu adalah tahun puncak menunjukkan kinerja, menunjukkan program konkret dan memulainya, sehingga tahun ke 4 dan ke 5 tinggal menuai hasil kinerja sebagai bahan propaganda keberhasilan untuk memasuki tahun politik mendekati pemilu berikutnya. Namun sangat disayangkan, 3 tahun itu berlalu tanpa hasil nyata kemajuan bangsa, kecuali hanya hasil opini keberhasilan dan klaim sepihak tanpa fakta konkret dilapangan. Ekonomi merosot, Politik tidak stabil, Hukum berbelok-belok semaunya, dan berujung pada lahirnya keputus asaan dalam bernegara dihati banyak rakyat. Saya meyakini, mayoritas rakyat saat ini putus asa dalam bernegara dibawah pimpinan Joko Widodo dan frustasi secara politik dan terdegradasi mental hukumnya. Inilah sebuah pandangan yang Saya yakini dirasakan oleh mayoritas publik saat ini.

Dalama rangka pemilihan umum 2019 nanti, dimana Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013 telah menetapkan Pemilu Serentak seluruh Indonesia baik Pemilu Legislatif maupun Pemilihan Presiden. Ada 5 pemilihan dalam 1 kali waktu bersamaan 2019 nanti, yaitu Pemilihan Presiden, Pemilihan DPR RI, Pemilihan Anggota DPD, dan Pemilihan DPRD Tingkat Propinsi serta Pemilihan DPRD Tingkat Kabupaten Kota. Sungguh pemilu yang rumit menurut Saya dan bukan pemiu yang mudah. Karena Rakyat dihadapkan kepada sebuah waktu sempit untuk memilih 4 wakil di ranah Legislatif dan 1 wakil Eksekutif yang akan menjadi Presiden. Terbayangkah betapa Rakyat dibawah akan kesulitan menentukan pilihannya atau akan lebih mudah? Saya tidak berani menjustifikasi, tapi Saya berharap Rakyat kita dibawah bisa memilih dengan nurani dan bukan memilih karena adanya politik uang atau karena penyesatan informasi.

Hari ini dan besok adalah hari paling genting (Meminjam istilah Prof. Rocky Gerung) karena dipaksa genting oleh pemerintah dalam penetuan Presdiential Threshold atau Syarat minimal dukungan Calon Presiden yaitu sebesar 20% suara pemilih, atau 25% Kursi parlemen. Kegentingan pun terjadi karena Pemerintah (Jokowi) terlihat memaksakan kehendak dan keinginan untuk menetapkan Presidential Threshold pada angka 20% meski argumen yang disampaikan pemerintah tidak bisa diterima hanya karena menggunakan argumen yang tidak menggambarkan situasi realitas saat ini atau tidak menggambarkan situasi sesungguhnya masa lalu ketika Presidential Threshold itu ditetapkan.

Sejarah mencatat, bahwa Presidential Threshold 20% itu dahulu dimotori oleh Partai yang sama dengan sekarang dengan tujuan untuk menganjal majunya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai capres yang saat itu sangat tidak disukai oleh Partai berkuasa yaitu PDIP oleh Megawati Soekarno Putri dan Taufik Kiemas. Akhirnya rancangan itu didorong oleh PDIP bahkan mengusulkan PT sebesar 30% pada awalnya dengan tujuan utama adalah mengganjal pencalonan SBY. Tapi nasib berkata lain dan berkehendak berbeda dari keinginan mereka, SBY terpilih menjadi Presiden 2 Periode.

Argumen tentang memperkuat Sistem Presidensil juga adalah bentuk Argumen mengada – ada karena Sitem Presidensil tidak akan berubah apapun kalau Hak yang diberikan kepada DPR nyaris sama dengan hak yang dimiliki Eksekutif. Permasalahan Sistem Presidensil itu ada pada hak DPR yang diatur UU MD3 bukan pada Presidential Threshold seperti yang disampaikan Pemerintah. Kalau mau Presidensil kuat, maka batasai hak DPR dengan merubah UU MD3, itu yang benar. Tentang klaim agar Indonesia maju jika PT 20%, juga sudah terbantahkan dan terpatahkan sendiri dengan sitiasi berbangsa sekarang yaitu bahwa Jokowi adalah Presiden hasil Pemilu Presidential Threshold 20%, namun fakta menyatakan bangsa kita merosot disegala lini bukan malah maju.

Selain argumen-argumen tersebut, syarat Presidential Threshold tersbut haruslah melihat fakta-fakta hukum yang ada. Domain politik ini seharusnya domain Partai Politik bukan Domain Presiden karena UU menyatakan Calon Presiden diajukan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Dengan demikian, harusnya persyaratan tentang pencalonan presiden ini adalah menjadi domain Partai Politik bukan domain Presiden sebagaimana sekarang Presiden ngotot untuk menetapkan Presidential Threshold 20%. Mungkin ini demi kepentingan Jokowi untuk maju lagi 2019 nanti, minimal targetnya adalah menghalangi kemungkinan peluang calon presiden alternatif. Tampaknya Jokowi sangat ingin menjadi calon tunggal 2019 nanti meski kinerjanya sangat tidak layak diapresiasi.

Kondisi ini semakin membuat situasi politik genting. Bahkan tampak sekali Parati-partai Politik pendukung pemerintah tidak lagi mandiri dalam melaksanakan dan merancang arah politik partainya karena dikooptasi oleh kekuasaan. Inilah tanda-tandan kehancuran sebuah Demokrasi, Partai Politik sebagai wadah dan alat berdemokrasi tidak bisa lagi mandiri terhadap dirinya, maka niscaya Partai Politik tersebut tidak layak lagi dijadikan wadah berdemokrasi.

Seharusnya dan semestinya, calon presiden lah yang harus tunduk kepada Partai bukan sebaliknya partai tunduk kepada Presiden untuk melanggengkan kekuasannya. Pertanyaannya, ada apa dengan para Partai Politik yang tidak mampu mandiri bersikap itu? Mengapa sebegitu takutnya? Adakah mereka disandera kekuasaan? Hany mereka yang tau itu.

Keputus asaan bernegera ini harus diakhiri oleh semua pihak. Lihatlah kondisi nyata dibawah betapa bibit-bibit perseteruan dan konflik hirizontal sudah sangat terang benderang dan berada di depan mata. Presiden Jokowi tidak boleh menunjukkan sikap ngototnya yang mengakibatkan kegentingan demi kepentingana pribadinya. Presiden Jokowi harus tunduk kepada fatsun politik dan tunduk kepada aturan hukum.

Tetapkan Presdiential threshold sebesar 0% supaya keputus asaan bernegara terobati satu persatu, karena sudah banyak sekali luka bernegara yang ditimbulkan oleh Pemerintahan ini.

Jakarta, 19 Juli 2017⁠⁠⁠⁠