JAKARTASATU – Dalam biografinya, “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” (Cindy Adams, 1963), Bung Karno sempat bercerita perihal pembangunan irigasi dan jalan di Hindia-Belanda. Menurutnya, irigasi yang dibangun bukan diutamakan untuk mengairi sawah rakyat, melainkan untuk pengairan perkebunan tebu dan tembakau milik kolonial. Cerita yang sama juga pernah disampaikannya dalam “Indonesia Menggugat” (1/12/1930). Jalan raya, kereta api, pelabuhan-pelabuhan yang dibangun Belanda hanya untuk menggampangkan gerak modal partikelir.
“Tetapi tidak dapat disangkal bahwa alat lalu-lintas modern itu menggampangkan geraknya modal partikelir. Tidak dapat disangkal bahwa alat-alat lalu lintas itu menggampangkan modal itu jengkelitan di atas padang perusahaannya, membesarkan diri dan beranak di mana-mana, sehingga rezeki rakyat kocar-kacir oleh karenanya”, tutur Bung Karno dalam pledoinya itu.
Selain tidak boleh bergantung pada utang luar negeri dan harus dijauhkan dari agenda privatisasi, politik infrastruktur nasional harus mengabdi kepada cita-cita nasional, bukan untuk melayani ekspansi dan eksploitasi kapital asing.
Politik infrastruktur nasional bukan bentuk lain dari pemetaan geo-ekonomi demi mendukung sistem logistik dan konektivitas yang pada akhirnya hanya mempermudah investor asing mengeruk sumber daya alam dan menguasai potensi ekonomi nasional.
Kedaulatan Indonesia tidak boleh diletakkan di bawah kaki asing. Maka, kembali ke UUD 1945 (asli), kontrol negara di sektor ekonomi dan deliberalisasi politik akan menjadi kebutuhan masa depan yang wajib dipenuhi. |NUGROHO PRASETYO