Foto : Ist

JAKARTASATU– Ketua Ikatan Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) 2008-2013, M. Said Didu mengingatkan pemerintah jangan seperti Negara komunis atau negara otoriter yang menerapkan harga subsidi. “Adalah lucu mengaitkan harga jual petani dengan alasan mendapatkan subsidi sehingga jual murah. Ini tidak ada aturannya.

Jika prinsip bahwa tiap yang mendapatkan subsidi akan diatur harganya, maka ini sangat otoriter dan lebih otoriter dari Negara komunis,” tulisnya, di akun media sosial, Twitter pribadi miliknya, @saididu, Senin (24/07/2017).

Menurutnya, kalau harga jual yang dapat subsidi diatur, maka polisi harus juga mengawasi harga jual gorengan karena gunakan gas subsidi dan lain-lain. “Jika prinsip bahwa harga produk yang inputnya ada subsidi diatur, maka siap-siaplah awasi harga gorengan sampai makanan di hotel. Siap?”

Pemikiran seorang menteri bahwa karena ada subsidi, maka harga diatur/dikendalikan menurutnya justru akan membuka peluang kriminalisasi petani dan pengusaha. “Saya sangat kecewa pernyataan pejabat bahwa karena terima subsidi maka pelanggar hukum dan merugikan negara karena menjual lebih mahal.

Harga pembelian minimum Bulog terhadap produk petani untuk lindungi petani, bukan melarang petani menjual lebih mahal!” Setidaknya menurut Said ada lima pengertian yang harus diluruskan. Pertama, ada subsidi. Kedua, beras premium. Ketiga, beras oplosan. Keempat, kerugian negara. Dan kelima, peran Bulog.

“Pengertian ini penting diluruskan agar penegak hukum tidak lakukan tindakan yang bisa merugikan petani serta tidak mematikan dunia usaha. RI