JAKARTASATU – Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini menutup diri soal informasi kuota Eskpor Mineral, untuk itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  hendaknya Bergerak membongkar hal ini.

Kebijakan Pemerintah membuka keran ekspor mineral yang belum diolah di smelter dalam negeri telah memakan banyak korban, salah satunya adalah marak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan tenaga kerja dari beberapa smelter yang dibangun oleh pengusaha untuk mendukung program hilirasi industri mineral yang dicanangkan Pemerintah sesuai UU Minerba nomor 4 tahun 2009.

Tak kurang puluhan smelter yang dibangun dengan nilai investasi sekitar USD 12 miliar juga terancam bangkrut akibat tidak mampu membayar biaya operasional dan cicilan hutangnya kepada lembaga keuangan.

Hal diatas dituding oleh Asosiasi Pengusaha Pengolahaan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handoyo bahwa regulasi dalam Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2017 diangap sebagai biang keroknya, dan diamini oleh Dirjen Industri Logam, mesin Alat Transportasi dan Elektronika / ILMATE Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan (21/7/2017), walaupun tudingan itu langsung dibantah oleh Kepala Biro Layanan Informasi dan kerjasama KESDM Sujatmiko pada (22 Juli 2017) mengatakan semua proses rekomendasi ekspor dilakukan proses persyaratan yang ketat dan diverifikasi oleh verifikator independent, suplai kita hanya 7% untuk pasar dunia.

Tudingan AP3I itu belakangan bisa jadi mengandung kebenaran, pasalnya merebak informasi terbaru yang beredar adanya “dugaan kongkalikong antara Dirjen Minerba” terkait pemberian rekomendasi ekspor bijih nikel kepada PT Ceria Nugraha Indotama sebanyak 2, 3 juta mton dan PT Dinamika Sejahtera Mandiri sejumlah 2. 4 juta mton bijih bauksit sesuai surat rekomendasi nomor 1378/ 30/DJB / 2017 dan surat nomor 1379/30/DJB / 2017 pada tgl 4 juli 2017, rekomendasi tersebut diduga cacat prosedur dan melanggar perundangan di sektor mineral dan batubara, seharusnya rekomendasi ekspor bijih nikel dan bausit diberikan apabila perusahaan telah menyerahkan dokumen studi kelayakan yang lengkap serta dinyatakan layak oleh tim penilai ( Verifikator) independent serta disetujui oleh Pemerintah, tanpa hal tersebut maka tersebut dianggap ilegal .

Sebelumnya Kementerian ESDM menyatakan bahwa penerbitan rekomendasi eksport itu telah sesuai prosedur, namun belakangan diketahui bahwa kedua surat rekomendasi tanpa melalui prosedur hukum yang ditetapkan oleh perundangan, artinya surat rekomendasi itu ILLEGAL dan pejabat yang mengeluarkannya harus dimintakan pertanggungjawaban secara hukum kedua perusahaan, itulah materi yang dirilis oleh Aliansi Mahasiswa & Pemuda Minerba dibawah kordinator M Roiskan yang berunjuk rasa ke kantor Presiden dan Kementerian ESDM dalam (undangan peliputan kepada media electronik dan cetak beredar luas dari beberapa group whatsapp 25/7/2017).

Mengingat Presiden Jokowi pada rapat terbatas mengenai evaluasi implementasi proses hilirisasi pertambangan minerba di kantor Kepresidenan pada  22 Maret 2017 menegaskan bahwa “Penjualan komoditas mentah saat ini harus segera dihentikan , era menjual sumber daya alam sudah harus dihentikan, menjual bahan mentah harus sudah kita stop. Kita harus mengubah paradigma komoditas minerba yang diolah untuk menciptkan nilai tambah bagi perekomian nasional kita, kata Jokowi  seperti dilansir Detik Finance (22/7/2017).

Padahal dari hasil Rapat Dengar Pendapat tanggal 7 Desember 2016 antara Komisi VII dengan Dirjen Minerba ESDM, Dirut PT Freeport Indonesia dan PT Petrokimia Gresik yang salah satu butir kesimpulannya adalah

“Mendesak Ditjen Minerba untuk tidak memberikan rekomendasi ekspor konsentrat kepada PT FI setelah 12 Januari 2017, apabila PTFI tidak bisa melakukan pemurnian konsentrat pada smelter dalam negeri sesuai pasal 170 UU Minerba”.

Kemudian Gus Irawan Pasaribu Ketua Komisi VII DPR berkomentar “Padahal janjinya smelter selesai tahun 2014, terus enggak selesai selesai. Oke Pemerintah kasih perpanjangan waktu 3 tahun sampai 2017, kami kunjungan kesana masih nol persen, itu menunjukkan itikad tidak baik.” kata Gus Irawan dilaman Kompas.com (24/2/2017).

Namun mendadak Presiden Jokowi pada tanggal 24 Juli 2017 pada Sidang Kabinet menegor keras Kementerian ESDM yang telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) dan menimbulkan banyak masalah disektor energi dan sumber daya mineral, bahkan ada sekitar 45 produk Permen ESDM yang diduga bermasalah untuk perlu dilakukan peninjauan kembali.

Ada juga sebagian Permen ESDM yang bertentangan dengan peraturan diatasnya, contohnya seperti Permen ESDM terkait rekomendasi ekspor ini adalah Permen ESDM nomor 5 dan nomor 6 tahun 2017 yang dianggap kontroversial dan sejak tanggal 3 April 2017 telah didaftarkan gugatannya di Makamah Agung oleh Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Sumber Daya Alam yang dikoordinir Dr Ahmad Redi SH dan kawan kawan, dan saya salah satu penggugatnya.

Tentu pernyataan tegas Presiden tersebut berbanding terbalik dengan pelaksanaan yang dijalankan oleh jajaran Kementerian ESDM, sehingga publik tak salah bertanya kok bisa jadi begini ya kenyataannya, mana yang benar dan bisa dipercaya bicaranya..?

Bahkan adanya rumor beredar bisik-bisik tentang ada orang kuat dari keluarga elit partai penguasa berada dibelakang perusahaan yang mendapat kuota ekspor yang berpotensi merugikan negara bisa jadi benar adanya, apalagi terkait dugaan sukses komisi yang akan dibagi bagi sekitar USD 15 permetric ton dikalikan jumlah kuota 5 juta metric ton, maka ada potensi sejumlah USD 75 juta, tentu saja bisa membuat gelap mata pihak pihak terkait untuk berupaya terus mensukseskan ekspor ini.

Beberapa informasi terkait ini dan pertanyaan yang saya ajukan menyangkut sudah berapa kuota yang dikeluarkan rekomendasi oleh Ditjen Minerba untuk bijih nikel dan bijih bauksit dan nama nama perusahaan yang telah diberikan kepada beberapa pejabat Kementerian ESDM pada  25 juli 2017, telah dijawab oleh Dirjen Minerba “Saya masih diluar negeri, minggu depan ya, tksh”.

Sementara Sekjen Kementerian ESDM atas pertanyaan yang sama, menjawab:

“Yth Pak Yusri, pertanyaan atau klarifikasi substansi yang diminta terkait masalah data, angka-angka, dan teknis tentu yang bisa menjawab adalah pejabat Ditjen Minerba yang berkompen, terkait dengan proses pemberian rekom ekspor tentu telah dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku karena basis aturan sudah jelas, pelayanan online dan ada verifikator independen, demikian.

Akan tetapi atas pertanyaan yang sama terhadap Kepala Biro Layanan Informasi ESDM, telah dijawab : “Selamat siang Pak Yusri, kapan ada waktu luang kita ngopi bersama yuk…, tks. Salam – Jatmiko”

Sehingga muncul kesimpulan sementara saya dari sulitnya mendapat kebenaran atas informasi tersebut, telah menimbulkan kecurigaan baru bahwa “jangan jangan benar informasi yang beredar soal dugaan kongkalikong itu”.

Atas dasar itulah seharusnya KPK pro aktif melakukan tindakan pencegahan terhadap adanya dugaan praktek praktek penyimpangan dalam verifikasi rekomendasi ekspor yang telah dikeluarkan oleh Ditjen minerba, terkait kelayakan perusahaan perusahaan tersebut dilapangannya, apakah benar mereka menambang, apakah betul mereka serius membangun smelter? apalagi dgn kapasitas 7 juta mton pertahun , Atau angka kapasitas hanya akal akalan saja untuk memdapat alokasi besar rekomemdasi ekspor saja , toh soal apakah dikemudian hari apa betul akan membangun smelter dgn kapasitas waktu mengurus mendapat kuota ekspor belum tentu juga , tetapi yang penting sdh dapat izin ekspor , soal progres kemajuan smelter yang dilaporkan kepada Ditjen Minerba, tetapi bisa berbeda kenyataannya dilapangan.

Sehingga verifikasi soal kemajuan pembangunan smelter kelapangan langsung oleh KPK menjadi sangat penting sebagai bagian pencegahan, karena adanya potensi dugaan praktek manupulatif soal progres ini, Karena kemajuan pembangunan smelter itu ada bobotnya dan terkait juga dengan tarif bea keluar yang akan dibebankan kepada eksportir sesuai diatur pasal 1, 4 A ayat 1 sd 4 dan pasal 4 B oleh Peraturan Menteri Keuangan ( Permenkeu ) nomor 013/ PMK /010/2017 tentang “Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar & Tarif Bea Keluar ” yang merupakan perubahan kelima Permenkeu nomor 75 / PMK .011/ 2012 akan rawan diselewengkan .

Kalau ekspor mineral logam mentah tidak segera dihentikan oleh Pemerintah, maka kita akan tercatat dalam sejarah sebagai negara yang gagal melakukan hilirisasi industri sumber daya alam dan tidak adanya kepastian hukum bagi investor smelter yang sudah berinvestasi.

Yusri Usman – CERI 

Jakarta 26 Juli 2017