THE EIGHTH BLUNDER
by Zeng Wei Jian

Pulau artifisial “Palm Jumeirah” adalah proyek coba-coba. Strategi United Arab Emirates pasca minyak (life after oil). Mereka pilih turisme.

Jadi ada sebuah projeksi long-term. Dasarnya, sebuah kebutuhan, the need for survival. Minyak bisa habis. Dubai bisa kere. Selain minyak, mereka hidup dari emas dan trading. Diprediksi tahun 2016, minyak Dubai mulai kritis.

Saya ngga tau, background proyek Reklamasi Teluk Jakarta. Tapi agaknya, Jakarta ngga dalam critical-point.

Selain merusak ekosistem laut, sudah pasti itu, Palm Islands Dubai punya dampak sosial, ekonomi, kultural dan environmental problem. Pulau-pulau artifisial punya target pasar global rich elite atau mega-rich people. Bukan buat rakyat atau middle-class Dubai.

Palm Islands Dubai triger masalah: stagnant water, alga dan nyamuk. Ombak tidak lagi bergulung sentuh bibir pantai. Air stagnant. Matahari menghidupkan alga. “Lumutan” kata orang Betawi. Jadi sarang nyamuk.

Bila hal sama terjadi di Reklamasi Teluk Jakarta, maka warga Pluit, Kapuk, Dadap, Muara Angke, Pasar Ikan, Ancol sebaiknya siapin diri. Stock sekardus obat nyamuk. Semprot, electric, bakar atau lotion. Raket nyamuk ‘made in china’ bisa meroket. Hunting mosquito (berburu nyamuk) bisa jadi aktifitas seru di malam hari. Pletak-pletok, pletak-pletok, bunyinya.

Strategi iklan Palm Islands Dubai memang bombastis. Pulau-pulau artifisial itu digambarkan seperti Firdaus. Lengkap dengan artificial nature, pepohonan, green, full security system, bars, high quality fishes, panoramic marina view dan sebagainya. Rakyat biasa ngga punya akses. Ngga boleh masuk. It is a city within a city. Free Zone bagi bule dan Arab. Mereka bisa ugal-ugalan tanpa terditeksi.

Dengan berani, divisi iklannya menyebut Palm Islands Dubai sebagai “The eighth wonder of the world” atau Keajaiban Dunia Ke Delapan. David Beckham, Madonna, Sarukh Khan berhasil dirayu dan beli. Mereka jadi bagian yang disebut “Palm Pioneers”.

Alas, krisis menerpa saat pipa airnya jebol. Resident mega-rich di pulau-pulau artifisial terpaksa cuci piring dan baju di laut. Mereka nyebrang, keluar dari pulau reklamasi, bawa handuk, shampo, sabun cair, sponge pembersih muka dan serbu WC Umum terdekat dan lavatory shopping centre di Kota Dubai.

Bayangkan ribuan WN Tiongkok dan bule-bule negro penghuni pulau reklamasi serbu toilet-toilet umum di Kampung Aquarium, Ancol, Pom Benzin Pluit dan Pluit Village. It will be a disaster for the locals.

Para penghuni Palm Islands Dubai mengeluh bahwa kenyataan ngga seindah brosur. Villa-villa mereka dempet. Seperti pepes sarden. Ngga ada pohon. Gersang. Boyak. Mereka ngga bisa sun-bath. Krim Sunblock gagal melindungi kulit dari serangan ultra-violet Arabian Gulf bertemperatur 42C. Too hot for their skins.

Suplai air dan listrik Jakarta masih blepotan. Semakin ngga karuwan bila pulau-pulau reklamasi mulai beroperasi. Suplai ke sana bakal diutamakan. Karena itu tempat orang asing dan mega-rich.

Bila sekarang, Palm Islands Dubai disebut-sebut sebagai “The eighth BLUNDER of the world”, bakal dapet predikat apa Reklamasi Teluk Jakarta bila Anies-Sandi ngga sanggup stop proyek ini?

THE END