Rohingya migrants sit on a boat drifting in Thai waters off the southern island of Koh Lipe in the Andaman sea on May 14, 2015. The boat crammed with scores of Rohingya migrants -- including many young children -- was found drifting in Thai waters on May 14, according to an AFP reporter at the scene, with passengers saying several people had died over the last few days. AFP PHOTO / Christophe ARCHAMBAULT (Photo credit should read CHRISTOPHE ARCHAMBAULT/AFP/Getty Images)

JAKARTASATU– Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut etnis Rohingya sebagai etnis yang paling menderita di muka bumi. Etnis minoritas ini tertolak di Myanmar, tertindas di Bangladesh. Mayoritas etnis Rohingya tinggal di Rakhine, salah satu bagian propinsi di Myanmar. Namun mereka tidak memiliki identitas kewarganegaraan Myanmar karena dianggap imigran ilegal dari Bangladesh. Sebaliknya, Bangladesh tidak mau menerima mereka karena dianggap sebagai warga Myanmar. Ketiadaan identitas ini menyebabkan mereka tidak memiliki akses pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan tempat tinggal yang layak. Bahkan, ruang gerak mereka dibatasi hanya lingkup geografis tertentu.

Sejak 1982, Etnis Rohingya telah mengalami persekusi dan pengusiran berulang kali. Terakhir, sepanjang minggu ini, tidak kurang 3.000 orang melarikan diri ke perbatasan Bangladesh karena kebrutalan yang dilakukan oleh militer Myanmar. Dalam sepekan ini, jumlah korban dari etnis Rohingya mencapai kurang lebih 800an orang, termasuk perempuan dan anak-anak.

Atas hal tersebut, PP Muhammadiyah mendesak Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court – ICC) untuk mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas praktik genosida terhadap etnis Rohingya di Myanmar. Tidak hanya itu, Muhammadiyah juga meminta peraih nobel perdamaian Aung dicabut oleh pihak pemberi nobel.

“Mendesak komite Hadiah Nobel untuk mencabut Penghargaan Nobel Perdamaian bagi Aung San Suu Kyi, salah seorang pemimpin terkemuka Myanmar, yang alih-alih menunjukkan kesungguhan untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan di Myanmar, justru memperburuk keadaan,” demikian siaran pers PP Muhammadiyah, Jum’at (1/9/2017).

Muhammadiyah juga meminta kepada Pemerintahan Joko Widodo untuk ikut evaluasi kerja dengan pihak Myanmar. “Meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk mengevaluasi kebijakan diplomasi sunyi (non-megaphone diplomacy) yang selama ini diterapkan kepada Myanmar karena tidak berhasil mendesak Myanmar mengakhiri praktik-praktik genosida terhadap etnis Rohingya.

Meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk mempertimbangkan kemungkinan disediakannya sebuah kawasan/daerah di Indonesia untuk menampung sementara pengungsi Rohingya sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap pengungsi perang Vietnam di Pulau Galang beberapa dekade silam.”

Menurut Muhammadiyah peristiwa atas kebiadaban tentara dan Pemerintah ini harus segera diakhiri. Pasalnya, bisa saja terjadi dan mempunyai dampak serta potemsi situasi keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara dengan kemungkinan tumbuhnya kelompok perlawanan terhadap Myanmar, perdagangan manusia, imigran ilegal yang membanjiri kawasan. RI