Pengaruh Protokol Zion dan Seni Perang Sun Tzu dalam Tragedi Kemanusiaan Rohingya
Oleh: Cokro Wibowo Sumarsono
Meledaknya isu kemanusiaan di Rohingnya mengingatkan kembali kepada kita bahwa situasi kebangsaan tidak pernah bisa dilepaskan dari situasi dunia internasional. Bahwa nasionalisme akan tumbuh subur di taman sarinya internasionalisme. Bahwa peri kemanusiaan akan berkelindan erat dengan peri kebangsaan. Bahwa peri kebangsaan akan selalu berkaitan erat dengan situasi global yang berkembang cukup dinamis.
Mapping pemetaan global wajib dikuasai oleh agen-agen gerakan sosial progresif. Agar tidak terjerembab ke dalam kubangan ultra nasionalisme ataupun jeratan nasionalisme sempit berlandaskan ego sektoral dan kelompok aliran semata. Peta dunia saat ini dikendalikan oleh dua doktrin filsafat ideologis yang saling menjatuhkan antara satu dengan yang lainnya.
Doktrin pertama adalah Protokol Zion, sebuah kesepakatan tersembunyi para tetua Zion yang menjadi dasar epistemologis bagi banyak organisasi rahasia dunia dalam bekerja menancapkan pengaruhnya di lembaga-lembaga dunia, Trans National Corporation dan Multi National Corporation. Doktrin filsafat berikutnya adalah Seni Perang Sun Tzu, sebagai dasar epistemologis dari banyak jejaring organisasi rahasia guna mengendalikan dunia yang didukung dengan melimpahnya sumberdaya manusia sebagai agensi di berbagai belahan dunia.
Jika Protokol Zion bergerak melalui penguasaan jalur-jalur resmi keuangan dunia, media suratkabar serta isu-isu liberalisme politik yang menyasar pada kalangan elit menengah ke atas. Maka Seni Perang Sun Tzu bergerak dengan pendekatan langsung ke pusat massa rakyat dengan penerapan stategi dan taktik tempur Sun Tzu di tingkat akar rumput. Teknik belah bambu dijalankan dengan sangat maksimal. Taktik menyerap sumberdaya lokal baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia dijalankan dengan sangat terampil.
Protokol Zion terdiri atas 24 pasal atau 24 protokol. Sedangkan Seni Perang Sun Tzu terdiri atas 13 bab yang membahas strategi taktik dan metode perang.
Protokol Zion menjadi dogma bagi para bankir kelas kakap, ekonom liberal, politisi leberal, militer liberal dan NGO liberal. Sementara Seni Perang Sun Tzu menjadi doktrin filsafat militer kuno yang hari ini diterapkan di bidang militer, bisnis dan offensif kebudayaan.
Hasilnya, negara-negara dunia ketiga tetap melarat dan tergantung dengan cengkeraman modal asing. Negeri-negeri di belahan selatan khatulistiwa tetap menjadi sasaran empuk bagi banyak negara di belahan utara khatulistiwa yang secara samar telah dirasuki oleh dua doktrin filsafat tersebut.
Usaha penyatuan negara-negara selatan serta negara-negara dunia ketiga yang pernah dilakukan pada Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 saat ini telah bubar berantakan di banyak lapangan. Konflik berkepanjangan di kawasan Afrika Utara, Timur Tengah, Tibet dan terakhir di Arakan-Myanmar merupakan puncak dari gunung es atas rebutan pengaruh dan hegemoni dua doktrin filsafat dunia tersebut.
Pipanisasi minyak yang menghubungkan Myanmar ke China akan memangkas jalur distribusi perdagangan migas lewat laut. Mengakibatkan banyak negara mengalami kerugian dalam bisnis jalur distribusi migas. Kecaman keras dunia internasional atas tragedi kemanusiaan Rohingnya bisa menjadi pintu masuk bagi tentara Amerika Serikat untuk menguasai Myanmar dengan dalih sebagai pemimpin pasukan keamanan PBB. Perebutan pengaruh bisnis minyak antar korporasi besar seakan terhipnotis oleh pengaruh kedua doktrin filsafat tersebut di atas. Peri kemanusiaan semakin terpinggirkan atau bahkan hilang lenyap tertutup oleh kepentingan bisnis dan perlombaan dalam penumpukan modal.
Lantas Bagaimanakah Sikap Kita?
Jelas bahwa tragedi kemanusiaan Rohingya di Myanmar nyata bertentangan dengan prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Pembunuhan etnis, penyiksaan manusia atas manusia tanpa putusan pengadilan, pengusiran warga dari kampung halamannya sendiri serta berbagai macam kisah pilu etnis Rohingya di Arakan Myanmar adalah peristiwa kemanusiaan terbesar yang terjadi pada tahun 2017. Jika dilihat dari sisi jumlah korban dan luasan daerah konflik.
Hanya manusia yang telah hilang rasa peri kemanusiaannya sajalah yang bisa membiarkan berlangsungnya penyiksaan massal manusia atas manusia. Ketokohan Aung San Su Kyi akan rontok jika tetap diam dan melakukan pembiaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di negaranya.
Tragedi Rohingya merupakan panggilan jiwa kepada tiap jiwa manusia merdeka guna mengasah empati akan rasa kemanusiaan serta menajamkan spirit bagi terwujudnya keadilan sosial. Tanggalkan segera baju kepentingan sumbu pendek kita agar mata batin kita semakin terasah dalam menyikapi problema kemanusiaan yang seringkali terjadi.
Pancasila bukanlah jargon politik bunyi-bunyian guna legitimasi kuasa oligharki politik. Pancasila bukanlah selembar kertas yang tertempel di dinding perkantoran. Pancasila bukanlah milik segelintir kelompok aliran semata. Karena Pancasila adalah jiwa bangsa, perjanjian luhur para Bapak Pendiri Bangsa yang harus kita jiwai, pedomani dan terapkan di lapangan hidup keseharian. Pancasila mewajibkan kepada Pemerintah untuk menjalankan sila keduanya, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
‘Saya Pancasila’ dalam praktek adalah berani bersikap tegas atas tragedi sosial kemanusiaan yang terjadi di tiap belahan dunia, termasuk Palestina dan Rohingya di Arakan Myanmar. Berani bersikap tegas tanpa pengaruh anasir Protokol Zion ataupun doktrin filsafat Sun Tzu adalah sebuah keharusan.
Karena sebenarnya Filsafat Pancasila berada jauh di atas kedua doktrin filsafat tersebut.
Saya Pancasila, Save Rohingya !
Penulis adalah Ketua Umum GARDA SANDI (Gerakan Pemuda Desa Mandiri)