JAKARTASATU– Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimli Asshiddiqie menyatakan bahwa lembaga penegak hukum atau sebut saja seperti kehakiman bukan hanya dimiliki oleh kekuasaan seorang hakim, melainkan hal lain juga dimiliki oleh seorang pengacara mempunyai hak “hakim”.

“Sekarang, kekuasaan kehakiman itu bukan hanya hakim, sebab banyak yang melihat kekuasaan kehakiman itu hakim. Padahal kehakiman itu seluruh fungsi-fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Advokat pun menjadi bagian kehakiman karena penegakkan hukum. Proses kekuasaan kehakiman,” katanya, Kamis, (7/9/2017), di ICMI, Jakarta.

Hal mengenai itu misalkan saja termaktub di pasal 23 ayat 3 UUD, di mana badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman diatur oleh UU. “Dia masuk ke dalam bab kekuasaan kehakiman. Maka sejak awal reformasi muncul ide: independensi TNI, independensi bank central, termasuk independensi kepolisian,” tambahnya menjelaskan.

Untuk posisi KPK, Polri, dan termasuk Kejaksaan pun Jimly katakan masuk ke dalam pasal tersebut. “Maksudnya independensinya diatur dalam UU. Waktu reformasi, misalnya Jaksa Agung. Selama Orde Baru, Jaksa Agung  selalu dikepreskan dalam Kepres yang satu dengan kabinet. Jadi tetapi setelah keputusan MK, tidak ada lagi, karena dia bukan anggota kabinet.

Maka Kapolri pun bukan anggota kabinet. Demikian juga lembaga penegak lainnya. Sehingga dia tidak perlu duduk di dalam sidang kabinet,” lanjutnya menguraikan. Hal yang sama sebetulnya harus diatur tentang hubungannya dengan DPR.

Jadi kejaksaan, polisi, dan KPK mesti diatur ulang bagaimana ke depannya. Supaya jaraknya sama antara hubungan dia dengan eksekutif dan legislative. “Sekarang ada, saya menilai dari luar, dari jauh, ada kemerosotan dalam mengelola hubungan antara lembaga-lembaga penegak hukum dengan politisi. Saya rasa kita harus evaluasi karena sudah 15 tahun pula. Sebab tentu kita tidak ingin proses penegak hukum mengalami politisasi,” ia menutupnya. RI