JAKARTASATU– Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah mempertanyakan keberadaan Joko Widodo dalam pemberantasan korupsi. Fahri mempertanyakan keadaan itu terlebih saat KPK baru-baru ini kembali meng-OTT koruptor, yakni di Bengkulu. “Saya bertanya, di mana Presiden dalam pemberantasan korupsi?” tanyanya, seperti yang tertulis di akun Twitter pribadi miliknya, Sabtu (9/9/2017).

Menurutt Fahri, kalau kita bicara tentang lembaga negara, kita harus pakai Ilmu Negara, jangan pakai perasaan apalagi emosi. Menilai kinerja lembaga negara tidak bisa pakai opini tetapi pakai Ilmu Negara, standarnya harus jelas.

“Coba nalar fakta ini: baru saja ada OTT KPK hakim lagi di Bengkulu. Dan ini melengkapi OTT Gubernur dan jaksa di Bengkulu. Artinya ‘Ada Apa dengan Bengkulu’. Kenapa KPK intens memantau Propinsi tersebut ?

Itu satu sisi dari pertanyaan, sebab ada soal lain, seorang penyidik KPK juga jadi tersangka pembunuhan di sini.” Penyelidikan sudah tuntas. Dari Polisi ke Jaksa P21 lalu siap dilempar ke pengadilan. Lalu dihentikan. Karena di KPK.

“Setelah Jaksa Agung mengeluarkan penghentian perkara bagi NB, maka keluarga korban menuntut via peradilan. Tapi ini bukan penghentian pertama, kasus NB ini justru awalnya diproses tahun 2012.

Atas perintah Presiden SBY waktu itu Kapolri Timur Pradopo menghentikan perkara. Korban diabaikan. Atas desakan korban yang dianiaya oleh penyidik saat kasus itu terjadi, kasus ini dibuka kembali tahun 2015.”

Kali ini bahkan menurut Fahri kasus sampai P21 yang berarti bahwa ini telah memenuhi keyakinan penyidik dan penuntut di Kejaksaan. Tetapi, begitu kejaksaan ingin membawa kasus ini Pengadilan, maka Presiden ditekan kembali.

“Akhirnya Jaksa Agung mengeluarkan SKPP (surat keterangan penghentian perkara). NB dan kawan-kawan selamat lagi. Sekarang keluarga korban telah melakukan upaya praperadilan dan dimenangkan. SKPP batal.

Tapi apakah bangsa Indonesia bisa menang dan negara hukum berjalan untuk penyidik KPK? Selama ini belum pernah yang terbuka, karena laporan pidana kepada pejabat KPK adalah pidana itu sendiri.”

Menurut dia, kasus Bengkulu ini adalah gambaran tentang hukum yang berhenti di depan orang-orang yang menerima kemewahan dan perlindungan. Kemarin para korban datang lagi, Tim Pansus Angket KPK dari DPR RI kembali memberi mereka ruang bicara.

“Mereka menangis memohon keadilan karena Mulyadi sudah mati. Setelah ditembak Mulyadi infeksi dan mati. Mulyadi, pencuri itu sudah mati, tak ada yg mengobati apalagi ke luar negeri.

Di balik semua yang kita ketahui dan mungkin banyak yang kita tidak ketahui. Tapi penegakan hukum nampak kacau. Kemarin kita berbahagia karena Pak Dahlan Iskan bebas. Bahkan ada partai Pemerintah yang merayakan kebebasan beliau.”

Fahri nampaknya mita mulai permisif dengan malpraktik hukum. Seolah kerugian adalah resiko bagi korban. “Seperti kasus  NB ini dengan segala aspeknya, kita mulai melihatnya sebagai rutinitas biasa. Maka saya bertanya, di mana Presiden dalam pemberantasan korupsi?” RI