JAKARTASATU– Dalam perspektif kebijakan perhutanan sosial, Tanah Hutan Negara boleh dikelola oleh kelompok organisasi masyarakat untuk program “penghentasan kemiskinan” dengan tetap menjaga linkungan. Tanah Hutan Negara di Pulau jawa yang diberikan ijin pemanfaatan kepada rakyat selama 35 tahun adalah semuanya faktual sebagai tanah kosong yang sudah lebih 5 tahun hingga 15 tahun gagal diselesaikan oleh Pihak Perum Perhutani.
Sementara itu, kondisi rakyat di sekitar lokasi Tanah Hutan Negara tersebut tetap miskin. Kebijakan dan program Kementerian LHK memanfaatkan Lahan Hutan Negara yang kosong dimaksud untuk dijadikan perhutanan sosial dalam rangka penghentasan kemiskinan. Kebijakan dan program perhutanan sosial menerapkan, setiap Kepala Keluarga (KK) menerima maksimal 2 (dua) Ha dan dibantu dengan Perbankan, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Universitas, dan “off taker” pembeli hasil.
“Program perhutanan sosial menjamin hutan akan tertutup baik tapi rakyat mendapat tambahan hasil. Selama 25 tahun hutan tetap hancur oleh Perhutani dan rakyat tetap miskin,” demikian keterangan dari Peneliti NSEAS, Muchtar Effendi Harahap yang diterima jakartasatu.com, kemarin, Minggu (10/09/2017).
Permen LHK No 39 tahun 2017 disebutkan olehnya bahwa pada prinsipnya berupaya menyeimbangkan penguasaan lahan kaum petani miskin yang selama ini hanya rata rata 0,24 ha per KK. “Artinya, Permen LHK ini merupakan upaya reforma agraria versi kehutanan dalam bentuk pembukaan akses rakyat ke dalam lahan hutan yang dikuasai negara.
Selama 35 tahun sangat memadai untuk usaha ekonomi rakyat. Permen LHK ini bukanlah bermakna ‘bagi-bagi tanah’ seperti yg dituduhkan para Penggugat di atas. Permen LHK ini justru membuka access rights (hak-hak untuk jalan masuk) bagi kaum petani selama 35 tahun dan dievaluasi setiap 5 tahun sekali.”
Selanjutnya, tudingan Permen LHK dimaksud “merusak” lingkungan menurut Muchtar sangatlah berlebih-lebihan dan keliru. Justru Permen LHK ini diterbitkan dengan maksud untuk menanam lahan hutan yang sudah kosong lebih dari 5 tahun sampai 15 tahun menjadi produktif. Kalau dibiarkan lahan ini kosong terus, maka akan merugikan bagi keuangan negara.
“Jadi, mereka yang melakukan Gugatan uji materi Permen LHK No.39 Tahun 2017 sesungguhnya tidak mau memahami maksud dan tujuan Permen LHK tersebut. Permen LHK ini sangat progressif dan berpihak pada pengentasan kemiskinan dan lingkungan.
Tentu saja bagi pihak2 kelompok status quo dunia perhutanan khusus di Pulau Jawa menganggap kebijakan dan program mendukung penghentasan kemiskinan ini mengganggu dan bahkan merugikan kepentingan mereka. Sangat ironis dan tragis memang, ada kelompok ‘masyarakat madani’ justru menolak dan menggugat kebijakan pembangunan pro rakyat.” RI