JAKARTASATU– Peneliti dari Riset Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizki Argama mengatakan dalam penjelasannya bahwa Perppu Ormas mendalilkan adanya situasi darurat berupa tindakan permusuhan seccara lisan dan tulisan oleh ormas terhadap kelompok tertentu dan penyelenggara negara.
“Dalil itu tentu patut dipertanyakan mengingat hukum pidana kita sesungguhnya telah menyediakan perangkat pengaturan untuk menindak perbuatan ujaran kebencian ataupun penghinaan terhadap penguasa dan badan umum,” demikian katanya melalui rilis, Rabu (13/09/2017), di kantor KontraS, Jakarta
Lebih dari itu, MK melalui keputusannya No. 138/PUU-VII/2009 telah menetapkan sejumlah rambu dalam kaitannya dengan kewenangan Presiden menerbitkan Perppu. MK menentukan bahwa penerbitan Perppu harus memenuhi tugas prasyarat kondisi, yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum ssecara cepat berdasarkan UU, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU.
“Akan tetapi, sulit bagi kita untuk menyatakan bahwa penerbitan Perppu Ormas telah memenuhi ketiga prasyarat tersebut di atas, karena sesungguhnya tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas.
UU ormas dengan jelas telah mengatur mekanisme penjatuhan sanksi—termasuk pembubaran—terhadap ormas yang asas maupun kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.”
Sehingga ia menilai bahwa Perppu Ormas yang ada saat ini tidak memenuhi unsur yang seperti Pemerintah katakan, yakni kegentingan memaksa. Sebelum Perppu Ormas dengan No. 2 Tahun 2017 ini sudah memakan “korban”, yakni Hizbut Tahris Indonesia (HTI). Ormas ini menurut pemerintah terindikasi antipancasila dan lain-lain sesuai dengan isi dari Perppu Ormas tersebut. RI