Oleh : Salamuddin Daeng

Pertamina tengah dibangkrutkan dengan berbagai cara, mulai dari pemberlakuan kebijakan yang aneh aneh, pencabutan subsidi BBM, pemberlakuan BBM satu harga, BBM penugasan kepada Pertamina, tender BBM PSO, mega proyek infrastruktur migas yang didanai dengan utang. Oligarki penguasa menempel bagai parasit memeras dan menghisap Pertamina.

Berikut uraiannya :

1. Memaksa Pertamina menerapkan sistem gross split; Pemerintah memaksa Pertamina memberlakukan gross split untuk uji coba sistem baru di sektor hulu menggantikan cost recovery. Perusahaan asing umumnya menolak sistem ini. Sistem gross split adalah perubahan dari sistem cost recovery.  Dengan sistem ini maka seluruh biaya eksplorasi dan eksploitasi migas dibebankan kepada kontraktor. Kebijakan ini menyebabkan Pertamina rugi karena tingkat harga minyak yang rendah, sementara biaya yang dikelurkan untuk eksplorasi dan eskploitasi migas cukup besar, dikarenakan ladang ladang migas pertamina adalah sumur tua.

2. Memaksa Pertamina memberlakukan BBM satu harga ; pemerintahan Jokowi memaksa pertamina agar memberlakukan BBM satu harga seluruh Indonesia. Seluruh biaya memberlakukan BBM satu harga ini dibebankan kepada Pertamina. Sementara Pertamina pada satu sisi harus bersaing dengan perusahaan swasta yang lain menurut mekanisme pasar, pada sisi lain harus menjalankan tugas pemerintah.

3. Memaksa Pertamina menjual BBM penugasan; pemerintah menugaskan Pertamina menjual BBM satu harga dengan harga yang ditetapkan pemerintah.  Sementara harga yang ditetapkan pemerintah tersebut berada pada level yang merugikan pertamina. Hingga 30 Juni 2017, kerugian ditaksir mencapai US$ 957 juta atau sekitar Rp 12 triliun. Kerugian penjualan Premium maupun Solar itu termasuk juga dari Program BBM Satu Harga.

4. Pemerintah secara sistematik menghapus subsidi BBM dan membebankan biaya produksi dan distribusi BBM kepada Pertamina; Subsidi yang diterima Perusahaan Pertamina sebesar USD1.8 miliar selama 2016, periode sebelumnya 2015 sebesar USD3.3 mliar, Tahun 2014 sebesar USD12.5 miliar. Negara menghapus subsidi bensin  secara menyeluruh pada bulan Januari 2015.

5. Pemerintah, kementrian dan lembaga, BUMN lain, berhutang BBM dalam jumlah besar kepada Pertamina. Utang BBM tersebut belum jelas kapan akan dibayar kepada pertamina. Akibatnya pertamina mengalami kesulitaan keuangan. Satu contoh adalah adanya utang pemerintah ke Pertamina sebesar Rp 24 triliun yang belum dibayarkan. Ditambah dengan utang TNI sebesar 10 triliun.

6. Membiarkan Pertamina dalam kubangan utang; utang pertamina saat ini cukup besar, sekitar 10 miliar dolar atau lebih dari Rp. 130 triliun. Utang tersebut diperleh dari institusi keuangan internasional yang harus dibayarkan cicilan dan harus dilunasi setelah jatuh tempo. Namun karena banyaknya tugas yang dibebankan kepada Pertamina mengakibatkan keuangan Pertamina tergerus.

7. Mamaksa Pertamina membangun mega proyek infrastruktur dengan dana utang. Berdasarkan catatan Reuters, Pertamina memperkirakan akan menghabiskan sekitar USD17 miliar atau 226 triliun dalam tiga tahun ke depan untuk meningkatkan produksi migas dan memperluas kapasitas penyulingannya. Semua dana tersebut akan diperoleh dengan menekan pertamina agar mengambil utang dalam jumlah besar.

8. Memaksa Pertamina kembali menjalankan proyek RON 88. Padahal sebelumnya premium atau RON 88 akan dihilangkan dengan berbagai alasan dan argumentasi. Namun sekarang muncul wacana baru untuk kembali ke RON 88. Padahal pertamina telah berusaha menggeser pola konsumsi masayarakat dari Premium ke Pertalite. Namun diduga karena ada pemain baru yang masu masuk ke Pertamina maka RON 88 mau dikembalikan. Kondisi ini menggambarkan Pertamina menjadi ajang bancakan pemain migas yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan.

9. Memaksakan sistem tender BBM Publik Service Obligation (PSO) ; Pemerintah melakukan tender BBM PSO yang dihasilkan oleh produksi dalam negeri (?) dan BBM impor  (?) untuk memperoleh harga termurah dan infrastruktur yang lengkap, yang pada akhirnya pasti akan dimenangkan oleh Pertamina . Sehingga tender BBM PSO bersifat mubasir dan terindikasi mengandung motif politik tertentu.  Seharusnya distribusi BBM PSO menggunakan sistem penugasan kepada Pertamina dan tidak perlu tender.

Menjelang Pemilu 2019, BUMN menjadi sasaran paling empuk oligarki penguasa untuk mengeruk uang. Akibatnya biaya penyediaan BBM menjadi mahal, harga BBM yang diterima rakyat menjadi mahal, rakyat bertambah miskin, namun penguasa semakin kaya raya, mengumpulkan uang untuk menyogok rakyat dalam rangka mempertahankan kekuasaan politik. Setelah Pertamina ambruk maka penguasa akan memperoleh hadiah ucapan terimakasih dari asing dan taipan yang mengambil alih bisnis migas dengan sangat leluasa.******