JAKARTASATU– Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis rendahnya angka laju inflasi di bulan Oktober 2017. Selama pemerintahan Jokowi, laju inflasi cenderung turun, 6 persen di awal menjabat, jadi 3 persen dalam dua tahun terakhir.

Menurut saya, tren rendahnya angka inflasi jangn dianggap sebagai prestasi, tapi peringatan sedang berlangsungnya resesi ekonomi. Sebaiknya pemerintah segera sadar dan bangun dari mimpi.

Rendahnya angka inflasi, terutama dalam dua tahun terakhir, sebenarnya menunjukkan perekonomian kita sedang lesu. Dan penurunan daya beli serta konsumsi masyarakat memang bukanlah fiksi. Presiden Jokowi sebaiknya segera sadar ini bukan fiksi tapi fakta.

Rendahnya angka inflasi adalah salah satu indikator turunnya daya beli masyarakat. Menghadapi situasi ini pemerintah mestinya segera mengevaluasi strategi pembangunan ekonominya.

Menjadikan infrastruktur sebagai leading sector pembangunan terbukti bermasalah, karena kenyataannya terjadi banyak anomali. Turunnya upah pekerja serta turunnya jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi, serta turunnya konsumsi semen nasional, atau turunnya industri logam dasar dalam setahun terakhir, menunjukkan jika pembangunan infrastruktur ternyata tak berdampak seperti klaim pemerintah.

Dalam catatan saya, ada empat persoalan kenapa proyek pembangunan infrastruktur era Jokowi menghasilkan anomali ekonomi. Pertama, penggabungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat.

Penggabungan dua kementerian tersebut telah membuat pembangunan perumahan dan sektor properti jadi terabaikan, padahal sektor inilah yang bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan memiliki efek berantai paad sektor ekonomi lainnya. Ada sekitar 174 industri terkait sektor properti, sehingga jika sektor ini lesu, maka perekonomian secara umum ikut lesu.

Sedangkan pembangunan infrastruktur, karena bersifat high-tech dan padat modal, efek penggandanya lebih kecil, dan tak bisa menyerap banyak tenaga kerja. Dalam tiga tahun terakhir kondisi sektor properti tidak bagus. Pemerintah tak memperhatikan kondisi ini karena terlalu fokus di infrastruktur.

Pertumbuhan sektor properti, kredit konstruksi, kredit real estate, dalam tiga tahun terakhir lesu. Hanya Kredit Pemilikan Rumah yang mengalami akselerasi, itupun hanya untuk golongan menengah ke bawah, karena ada program subsidi.

Kedua, pemerintah membangun infrastruktur pada saat negara tak punya duit. Ini adalah persoalan besar. Dulu pemerintah Orde Baru membangun infrastruktur pada saat negara mendapatkan windfall profit dari oil boom awal tahun 1970-an. Negara tiba-tiba jadi punya duit banyak dari kenaikan harga minyak sehingga bisa membangun berbagai proyek infrastruktur, mulai dari membangun sekolah, saluran irigasi, jalan raya, jembatan, pelabuhan, bendungan, dan lain-lain.

Begitu juga dengan pemerintahan SBY. Mereka mengadakan Infrastructure Summit pada Januari 2005dan memperkenalkan MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) pada saat menikmati booming harga komoditas. Itupun anggarannya tak jor-joran seperti pada masa pemerintahan Jokowi-JK.

Nah sekarang pembangunan infrastruktur sangat ambisius di saat pemerintah tak punya uang, akhirnya berutang. Ketiga, penugasan pembangunan infrastruktur telah berdampak serius terhadap sejumlah BUMN strategis. Skema pembangunan infrastruktur yang dulu katanya tak membebani APBN, terbukti hanya fiksi, karena kenyataannya proyek-proyek itu dibiayai oleh utang yang dibuat BUMN dengan risiko yang akhirnya akan jadi tanggungan negara.

Bulan lalu, misalnya, kita disuguhi informasi tentang kemungkinan PLNmengalami gagal bayar akibat besarnya utang yang akan jatuh tempo. Sebagian beban PLN itu digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur yang ditugaskan pemerintah. Seharusnya pemerintah berhati-hati merancang program pembangunan infrastruktur, sehingga tak membebani dan apalagi mengorbankan BUMN.

Jangan sampai demi memenuhi ambisi rezim, prinsip kehati-hatian dan pengelolaan perusahaan yang baik oleh BUMN diterabas begitu saja. Keempat, pembangunan infrastruktur telah membuat pemerintah mengabaikan persoalan-persoalan jangka pendek.

Untuk membiayai infrastruktur, selain dari utang, pemerintah telah mencabut 77 persen subsidi untuk rakyat. Akibatnya rakyat mengalami penurunan daya beli dan tingkat konsumsi, padahal perekonomian kita ditopang oleh konsumsi.

Penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat ini telah membuat ekonomi lesu. Dan kelesuan itu kini sedang memukul balik struktur perekonomian secara umum. Jika pemerintah tak segera mengevaluasi pembangunan infrastruktur, beban kita di masa depan akan semakin berat.

Sekali lagi, pembangunan infrastruktur bagus kalau kita punya kelebihan uang. Jangan ambisi bangun sana sini dari utang luar negeri. Pemerintah sebaiknya segera bangun dari mimpi, cuci muka. Lihat kehidupan rakyat makin susah! RI

*Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI