JAKARTASATU– Daerah-daerah berkemajuan hingga Indonesia yang berkemajuan itu sudah masuk ke dalam diksi. Atau kata kunci yang dimiliki oleh Muhammadiyah dan telah tersebar luas, bukan hanya di Tanah Air, bahkan di mancanegara. Dan diksi Indonesia berkemajuan itu, satu paket dengan Muhammadiyah berkemajuan dan Islam berkemajuan. Yang lain tidak usah kita sebut. Jadi Islam berkemajuan, Indonesia berkemajuan, dan Muhammadiyah berkemajuan.

Tidak mungkin Indonesia berkemajuan itu terwujud jika tidak ada Muhammadiyah berkemajuan. Dan tidak mungkin muhammadiyah berkemajuan, jika tidak berdasar pada pandangan Islam berkemajuan. Jadi ini yang harus dijadikan rujukan oleh seluruh anggota, kader, aktivis, dan pimpinan keluarga besar muhammadiyah, bahwa satu paket, Islam berkemajuan, Muhammadiyah berkemajuan, dan Indonesia berkemajuan.

Indonesia berkemajuan dengan Islam berkemajuan, dan Muhammadiyah berkemajuan itu bukan sekedar retorika, atau bukanlah retorika, tetapi sudah menjadi paradigm, yakni menjadi pandangan yang sah, sistematis, dan yang sudah dipilih oleh muhammadiyah. islam yang progresif, Islam yang berkemajuan.

Pandangan-pandangan liberal yang serba bebas terkait HAM, juga jangan jadikan negara sebagai dengan landasan ideology yang lain, termasuk komunisme. Ini harus menjadi kesepakatan semuanya. Tetapi kan sudah mulai muncul, ya. Ada yang sebelah kanan, punya melankolisme. Pandangan agama yang sangat literal. Tetapi juga ada pihak lain juga ada pandangan-pandangan sekuler tentang agama.

Kita sebenarnya menyesalkannya, ya, MK tidak memahami denyut nadi seperti ini dengan melahirkan keputusan kolom agama dan kepercayaan. Memang secara konstitusional itu keputusan yang sudah final karena MK kedudukannya seperti itu. Tetapi, para penyelenggara negara yang ada di MK dapat bisa memahami betul sosiologi hukum di balik keputusan verbal dan yuridis itu. Begitu juga dalam keputusan lain, persoalan mayoritas dan minoritas, persoalan agama dan dimensi public itu tidak bisa dilihat secara positifist. Harus dilihat dari efek substansi, esensi dan nikai dasar dan suasana kebatinan bangsa Indonesia yang beragama. dan bangsa Indonesia itu memang beragama sebab menjadi bagian penting untuk bangsa.  Saya tidak sedang memprovokasi. Tapi ini agenda kita, Pak Zul dan Pak anies. Ketika ada krusial hal-hal semacam ini lebih baik ajak bicara Muhammadiyah, NU, dan organisasi lainnya serta berbagai pihak untuk solusi dan titik temu.

Hukum tidak selalu harus bersifat seperti itu. Dan mudah-mudahan ada perubahan dari banyak pihak agar tidak jadi masalah baru ke dapan. Sebab jujur kita sekarang ini kontraproduksi berbangsa dan bernegara. Banyak hal yang akhirnya menjadi agenda kita, dan kami Kuhammadiyah itu kehilangan peluang untuk kerja-kerja membangun. Dan menjadi naif apabila ada ahli yang mengatakan, apalagi jika menggunakan istilah ada agama impor, ada agama pribumi, seperti barang, dan ini jelas tidak memahami.

Coba dalam konstruksi teologis kita saja semua manusia itu beragama sebenarnya. Ini ikatan rohani kita, siapapun dia dan di manapun dia. Dari kutub Utara sampai kutub Selatan, termasuk di Indonesia ini sejak dalam dahulu kala ada orang di negeri ini dia sudah bertuhan. Dia sudah beragama. Hanya saja dia tidak mempunyai kemampuan dan tidak ada pihak yang menuntun ke jalan apa yang disebut sebagai fitrah (bimbingan).

Fitra Allah itu ada dua. Ada fitrah yang diturunkan yakni wahyu yang kemudian menjadi agama, yang dalam referensi keyakinan kita itulah Islam, yang dibawa oeh seluruh nabi dan rasul sejak Adam dan Muhammad. Kemudian ada fitrah diberikan di internal manusia, yakni ruh beragama/fitrah agama. Maka tidak akan ada istilah orang beragama impor dan ekspor segala macam begitu, ya. Ini perlu dipahami agar semua orang paham. Tapi inilah, ya, di mana sebagian dari elit kita tidak mau belajar soal agama dengan seluk beluknya yang sangat mendasar seperti itu.

Masalahnya adalah kalau salah pandang itu bersikap akademis tidak membawa implikasi dalam keputusan-keputusan negara itu masing mending. Kita masih berdialog. Tetapi saat membawa implikasi keputusan terhadap public, dan mengikat kepada seluruh negara, bahkan menjadi hukum positif di negara ini memang akan menjadi bermasalah. Ini juga mungkin problem ketatanegaraan kita ya, Pak Zul. Jadi setelah kita amandeman, ini untuk perbandingan saja, kita mengkontruksi bahkan mendelegitimasi dan devaluasi posisi MPR menjadi ad hoc.

Padahal dulu MPR dan DPR bersikap yang kemudian lahirlah reformasi. Kalau mereka saat itu berkonspirasi, tidak akan terjadi reformasi seperti sekarang ini, yang konstitusional. Tapi apa yang terjadi, kita malah runtuhkan asumsi proses politik kedaulatan yang kaya seperti itu. Namun sekarang ada lembaga yang otoritasnya menjelma sama seperti otoritas tuhan, yakni MK. Padahal isinya hanya sembilan orang. Dengan rasa hormat dan profesi masing-masing, sehebat-hebatnya sembilan orang dibanding 560 orang itu lain, lebih-lebih, maaf-maaf kami tahu persis  bagaiman yang disebut oleh Weber sebagai social action atau tindakan sosial, orang itu bergerak tidak akan jauh dari suyektifitas juga tafisir yang dia miliki dan relasi dia dengan apa.

Dlam situasi sekarang ini tidak ada atau sulit sekali bebas dari kecenderungan tafsir subyektifitas dan relasi sosial politik. Sembilan orang ini, pertaruhannya luar biasa untuk ambil keputusan-keputusan yang menentukan hajat bangsa. Ini perlu menjadikan hukum ketatanegaraan kita dan politik kita yang akan datang agar sembilan orang ini tidak menentukan banyak yang diurus merah putih dan hitam putihnya Indonesia. Dengan tetap kita akui ini sebagai intitusi resmi dan orangnya adalah orangnya profesioanal. Tapi kelemahan tetap ada. Sebagaimana asumsi yang tadi, yakni 560 orang saja kita berkontruksi devaluasi, bagaimana dengan yang sembilan orang. Saya tidak sedang memprovokasi. Tapi ini agenda kita, pak Zul dan Pak Anies.

Ketika ada krusial hal-hal semacam ini lebih baik ajak bicara Muhammadiyah, NU, dan organisasi lainnya serta berbagai pihak untuk solusi dan titik temu. Hukum tidak selalu harus bersifat seperti itu. Dan mudah-mudahan ada perubahan dari banyak pihak agar tidak jadi masalah baru ke dapan. Sebab jujur kita sekarang ini kontraproduksi berbangsa dan bernegara. Banyak hal yang akhirnya menjadi agenda kita dan kami Muhammadiyah itu kehilangan peluang untuk kerja-kerja membangun.

*Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir