JAKARTASATU– Saya ingin memberikan beberapa masukkan terkait daya beli dan infrastruktur tapi masuknya melalui teknologi. Kita ini di era yang teknologi itu berdampak besar terhadap perekonomian kita. Ekonomi Indonesia berubah. Pun dengan global, berubah.

Kita saat ini sedang hadapai digitalisasi. Dulu kan manual dan konvensional. Dulu kita bicara modal dan padat karya, sekarang kita bicarakan padat ide dan padat kreatifitas. Nah, ini sekarang terjadi pergesaran. SDA dan termasuk  SDM-nya.

Terjadi pergeseran perilaku, kebutuhan dan gaya hidup. Dulu itu, kalau orang mau bank, ya, untuk ambilnya uangnya. Datang secara fisik. Setelah itu disusul oleh ATM. Sekarang sudah dapat dilakukan dengan HP. Dulu itu orang mempunyai kebutuhan pagi-pagi yang dilakukan membaca koran. Kini, baca media online. Kebutuhannya sudah berbeda sekarang.

Begitu juga dengan gaya hidup sekarang. Ya, orang ke mal saat ini bukan belanja, hanya life style saja. Untuk makan dan bertemu rekan. Jadi berubah. Sekarang teknologi ini, ya, mengubah segalanya terkait ekonominya dan kehidupan kita. Tetapi sekarang pertanyaannya adalah apakah teknologi menjadi penyebab dari turunnya daya beli masyarakat? Sebab beralih dari offline ke online belanjanya atau bagaimana?

Dari data Nielsen memberikan data mengenai peningkatan barang-barang konsumen yang cepat habis dan selalu dibeli seperti mie instan, sampo, susu bubuk. Per tahun pertumbuhannya akumulasinya sekitar 11 persen. Tahun ini pertumbuhannya hanya 2,7 persen. Rendah sekali. Sementara dari online-online itu, kurang dari 2 persen dari total belanja. Sebab tidak mungkin dong kita belanja online membeli mie instan. Itu kan harus fisik yang datang ke toko. Ke supermarket di mana kita belanja.

Di sini terlihat sekali bahwa terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Perlambatan dari konsumsi. Apakah ada daya lemah daya beli? Tetapi orang yang makan di restoran atau kafe, itu masih tinggi. Berpergian masih tinggi. Terjadi pergeseran gaya hidup. Orang cenderung life style: ‘Daripada saya beli sepatu yang mungkin harganya Rp. 1 juta, ya, saya ajak keluarga makan’.

Belanja memang terjadi penurunan. Dan sekarang penurunan itu secara nyata di industry padat karya dan padat modal. Misalkan industry penerbangan. Sekarang kita lihat, ya, kalau mau naik pesawat Citilink, Lion Air, ya, yang low cost ariline, mungkin masih tinggi. Tetapi jika dilihat dari kapasitas secara nasional itu tidak termanfaatkan. Sebab memang permintaannya rendah.

Bahkan sekarang ini saya sudah bicara dengan teman-teman dari Lion Air dengan mengatakan: ‘Kita belum pernah sejak berdirinya Lion Air penurunan pertumbuhan itu 40 persen. Pesawat yang akan datang dari Amerika kita setop dulu agar tidak datang dahulu.’ Garuda pun demikian. Bunganya tinggi. Bebannya tinggi. Bahkan sampai ada pernyataan yang mengkhawatirkan: ‘Kalau sampai 2019 kondisinya masih begini, pilihannya satu, kalau tidak Lion Air, ya, Garuda yang bangkrut’. Itu yang mengkhawatirkan.

Kemudian infrastruktur. Apa yang menjadi keunggulan dari infrastruktur? Satu membuka potensi ekonomi. Langsung terbuka potensi ekonomi. Coba dilihat sekarang misalnya Simpang Susun Semanggi, kelancara mobilitas tinggi. Jalan tol Cipali, otomatis itu terbuka yang namanya ekonomi sepanjang Subang, Majalengka, Cirebon. Orang yang tadinya ke Cirebon itu harus menempuh 6 jam, sekarang 2-2,5 jam sudah bisa.  Efisiensi. Dunia usaha sangat membutuhkan itu. Sebab memang kita mundur dari segi infrastruktur. Secara politis, ya, ini juga sangat penting. Karena itu bukti sebuah keberhasilan. Dan itu nyata. Ada di depan mata. Ada kok jalan tolnya, terlihat. Jembatannya ada. Bandaranya terlihat. Bukti pembangunan fisik ada. Ada prestasi. Itu terlihat.

Namun ada kendalanya. Pertama, adanya keterbatasan anggaran pemerintah. Berat sekali anggaran pemerintah itu sehingga harus menggenjot pendapatan. Pajak digenjot terus. Memang kita harus mengamankan APBN kita, tetapi jangan korbankan dunia usaha. Jangan sampai dunia usaha terbebenai dengan pajak. Jangan sampai pengusaha takut: ‘Ah, saya menaruh uang di bank nanti diintip-intip karena Perppu Nomo1 1 memberikan akses tersebut kepada Dirjen Pajak dan Kementerian Keuangan. Sehingga sekarang terlihat banyak arus kembali dana dari bank ke bawah bantal.

Bahkan suatu saat, kita datang ke Ace Hardware mencari brangkas yang ukuran besar habis. Ya, karena mungkin saja sudah banyak yang “mengembalikan” uang ke rumah masing-masing.

Kemudian ada peningkatan utang. Dan perlu kita transparansi utang. Jangan sampai utang-utang ini, pemerintah kan sudah mempunyai keterbatasan, disembunyikan di BUMN-bumn. di Karya-karya itu. Karya-karya itu yang sesungguhnya tidak mampu lagi berutang ya, tetapi karena diberikan oleh bank BUMN, ya, mereka mampu untuk melakukan pembangunan infrastruktur-infrastruktur itu. Tetapi jangan salah, kalau dilihat dari tingkat kesehatan, itu sangat membahayakan.

Bahkan isunya saat ini proyek LRT itu sudah mulai menunggak. Di antaranya pembayaran semen, pasir, besi, itu sudah nunggak bayarnya. Dan perlu juga alokasi sektor swasta. Jangan melulu diberikan oleh Karya-karya itu. Jadi swastanya terlibat biar dunia usahanya bergerak.

Intinya, pemerintah bersikukuh bahwa sampai pada hari ini masih mempertahankan rasio keuangan sesuai dengan  amanah Keuangan Negara. 60 persen dead to PDB (28 persen) dan 3 persen deficit anggaran terhadap PDB. Dan itu memang demikian.

Tetapi intinya ternyata bukan itu, initinya itu adalah bagi orang keuangan itu adalah likuiditas, bukan rasio. Likuiditas ketika utang jatuh tempo ada uangnya. Ketika turun ada uangnya. Itu yang paling penting. Sehingga likuiditas menjadi kunci daripada manajemen keuangan negara kita. RI

*Sekjen DPP PAN, Eddy Soeparno