JAKARTASATU– Salah satu politisi partai Gerindra menyatakan bahwa penghapusan golongan untuk pelanggan listrik 900 VA sebagai tindakan terselubung. Pasalnya, penghapusan tersebut selain akan membebankan masyarakat juga merupakan ketidakadilan.

Beginilah kritik politisi tersebut akan rencana pengahapusan pelanggan listrik 900, 1200, dan 2200:

“Saya menilai rencana pemerintah untuk menghapus golongan pelanggan listrik 900 VA-RTM, 1.300 VA, dan 2.200 VA menjadi tinggal golongan 4.400 VA dan 13.200 VA, sebagai bentuk pembebanan kesalahan tata kelola ketenagalistrikan ke pundak konsumen. Saya menyebut rencana penghapusan golongan 900 VA hingga 2.200 VA itu sebagai bentuk kenaikan tarif secara terselubung bagi sebagian besar pelanggan golongan rumah tangga. Sebab, dari sekitar 66 juta pelanggan PLN, 56 juta di antaranya adalah pelanggan rumah tangga.

Dari jumlah pelanggan rumah tangga itu, hampir separuhnya, atau 23 juta di antaranya, adalah pelanggan 900 VA. Jadi, rencana menaikan tarif yang sangat tidak transparan dan cenderung jahat. Saya sebut jahat, karena semester pertama tahun 2017 ini, rakyat pengguna listrik 900 VA sudah susah oleh kenaikan tarif listrik hingga 123 persen. Jika akhir tahun ini, atau awal tahun depan PLN melakukan kenaikan TDL terselubung melalui penghapusan tiga golongan di bawah 4.400 VA, kebijakan itu akan semakin memukul daya beli masyarakat, khususnya 23 juta pelanggan golongan menengah.

Sebaiknya PLN tak membiasakan diri membebankan salah urus dan inefisiensi perusahaan ke pundak konsumen. Mereka seharusnya fokus memperbaiki manajemen internal. Begitu pula dgn Menteri ESDM dan Menteri BUMN, seharusnya mereka bisa mnjd pengawas dan pemandu PLN, bukannya malah melegitimasi rencana destruktif tersebut. Kita lihat, utang jatuh tempo PLN dalam 3 tahun ke depan sebesar Rp186,09 triliun. Padahal, PLN saat ini sedang dibebani oleh penugasan berbagai proyek oleh pemerintah. Akibatnya keuangan PLN kewalahan. Pada akhirnya memperlemah kemampuan PLN memodali proyek-proyek yg sdg dikerjakannya.

Di sisi lain, PLN saat ini tengah mengalami penurunan saldo kas bersih. Angka DSR (Debt to Service Ratio) PLN kini di bawah 1, padahal batas wajarnya adalah di atas 1.5. Itu artinya kemampuan arus kas bersih PLN untuk melunasi utang jangka pendek makin rendah. Masalahnya, untuk menambal saldo kas bersih yang buruk itu, PLN melalui Menteri ESDM mewacanakan menerapkan kebijakan single price bagi pelanggan gol 900 VA, 1.300 VA, dan 2.200 VA, sehingga tarifnya sama dengan gol 4.400 VA. Bagi saya, menjebak rakyat untuk mengkonsumsi listrik lebih besar demi menyelamatkan keuangan PLN adalah kebijakan publik yang sangat tak bisa diterima. Pemerintah, sebagai pihak yang telah membebani PLN dengan penugasan yang kini membebani keuangan perusahaan plat merah tersebut, seharusnya mengevaluasi kembali proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt.

Saat ini kita sudah surplus listrik, sehingga proyek 35 ribu MW patut dipertanyakan urgensinya. Mengacu kepada angka yg disusun PLN sendiri, proyeksi kebutuhan listrik pada 2019 angka beban puncaknya hanya mencapai 59.863 MW. Padahal, jika proyek 35 ribu MW ini selesai, kapasitas terpasang waktu itu mencapai 88.585 MW. Artinya, ada sekitar 40 persen kapasitas yang menganggur.

Jadi, proyek-proyek yang kini sedang membebani keuangan PLN dan sedang coba untuk dilemparkan ke pundak konsumen seharusnya bisa dievaluasi agar tak membebani rakyat. Hingga saat ini, proyek yg sudah selesai atau commercial operation date (COD) masih di bawah 10 persen, sementara sisanya dalam perencanaan, pembebasan lahan dan konstruksi. Ada konsep awal yang salah total di sana. Sejak 2016 lalu pemerintah dan PLN seharusnya sudah memotong target proyek pembangkit listrik 35 ribu MW. Celakanya, alih-alih memangkas dan merasionalisasi proyek tersebut, yang terjadi justru pembangunannya makin digenjot. Akibatnya, kesalahan perencanaan itu kini berakibat pada sakitnya arus kas PLN. Saya bisa mengatakan jika proyek 35 ribu MW yang sedang dikejar oleh pemerintah adalah proyek muspro, karena kita sebenarnya belum memerlukan daya sebesar itu. Apalagi, asumsi kebutuhan listrik yang disusun pemerintah tersebut dibuat dengan andaian kondisi pertumbuhan ekonomi sebesar 7,1 persen.

Sementara dalam tiga tahun terakhir pertumbuhan ekonomi kita hanya berkisar 4 hingga 5 persen. Jadi, asumsi dasarnya jelas tak terpenuhi, sehingga seharusnya rencana proyek itu dievaluasi dan dihentikan, agar efek merusaknya tidak melebar ke mana-mana. BPK perlu melakukan audit keuangan terhadap beberapa BUMN, khususnya yang diberi penugasan proyek infrastruktur. Bukan audit administrasi biasa, tapi audit kinerja keuangan, supaya kita bisa mengontrol proyek-proyek infrastruktur pemerintah agar tak membahayakan keuangan negara dan keuangan perusahaan negara. RI

*Politisi Gerindra, Fadli Zon