JAKARTASATU– Tidak dipidananya seorang LGBT karena sikap MK beberapa waktu lalu menuai kritikan tajam dari Muhammadiyah. Melalui Dr. Maneger Nasution, Direktur Pusdikham Uhamka dan Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah mengeluarkan beberapa butir keberatan sikap MK tersebut.

Berikut butir-butirnya yang didapat jakartasatu.com, Senin, 18 Desember 2017:

  1. Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menghentak nurani publik. Setelah sebelumnya ‘berfatwa’ soal ‘agama’ dan ‘kepercayaan’, kini menolak gugatan terkait perluasan aturan soal perzinaan, perkosaan, dan juga pencabulan. Gugatan tersebut terkait perbuatan zina dalam kumpul kebo hingga soal LGBT bisa dipidana.
  2. Pihak yang menjadi pemohon ini adalah Guru Besar IPB Prof. Dr. Euis Sunarti dengan beberapa orang lainnya. Mereka menggugat Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP yang mengatur soal perzinaan, perkosaan, dan juga pencabulan. Pasal-pasal tersebut saat ini ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
  3. Dalam gugatannya, mereka meminta MK mengubah frasa dalam aturan-aturan tersebut. Hal tersebut membuat objek dalam aturan tersebut menjadi lebih luas.
  4. Zina pada pasal 284 KUHP diminta turut mencakup seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Dengan demikian, maka kumpul kebo akan bisa dipidanakan.
  5. Pemerkosaan pada pasal 285 KUHP diminta mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki. Dengan kata lain, maka seorang perempuan yang memperkosa atau mencoba memperkosa laki-laki juga bisa dipidana.
  6. Perbuatan cabul sebagaimana pada pasal 292 KUHP diminta turut mencakup setiap perbuatan cabul oleh setiap orang dengan orang dari jenis kelamin yang sama, bukan hanya terhadap anak di bawah umur. Hal ini membuat Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) akan bisa dijerat pidana.
  7. MK dalam menghasilkan putusan kasus tersebut terjadi dissenting opinion atau perbedaan di antara hakim dengan komposisi 5 menolak (Maria Farida, M Sitompul, I Dewa Gde Palguna, Suhartoyo, dan Saldi Isra) berbanding 4 menerima (Arief Hidayat, Anwar Usman, Aswanto, dan Wahiduddin Adams).
  8. Dalam amar putusannya, MK menolak permohonan untuk seluruhnya. MK berdalih permohonan itu membuat MK mengubah rumusan delik dalam pasal KUHP, bahkan merumuskan tindak pidana baru. Sebab yang dimohonkan adalah pengubahan frasa di dalam aturan tersebut. MK juga berdalih, pengubahan dalam aturan tersebut merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang melalui kebijakan pidana, yang dalam hal ini adalah Pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang, dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru. Bahkan menurut MK pasal-pasal dalam KUHP tersebut tidak bertentangan dengan UUDNRI 1945.
  9. MK mendalilkan bahwa MK adalah negative legislator bukan positive legislator. Oleh karena itu MK tidak berwenang membuat norma baru. Padahal publik juga mencatat bahwa dalam periode beberapa tahun terakhir ini MK justru telah memutuskan setidaknya 5 (lima) norma baru. Apakah MK konsisten dengan dalil negative legislator secara mutlak?
  10. MK tampaknya kembali abai terhadap terhadap kritik publik. Ketika MK memutuskan ‘menyamakan’ Agama dan Kepercayaan, seorang Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menyebut MK ‘melebihi’ otoritas Allah. Allah saja menyediakan keringanan ( rukhshah) dalam membuat hukum. Tapi keputusan MK itu final dan mengikat ( final and binding), tidak ada yang bisa mengoreksi. Makanya hakim MK sejatinya tidak hanya memahami ilmu hukum, tapi juga menguasai dan mempetimbangkan sosiologi agama di Indonesia.
  11. Bahkan Ketua Umum MUI yang juga Rais Am PB NU, KH Ma’ruf Amin, menyebut MK a-historis terhadap konsensus pendiri bangsa. Mereka mengengkari akan sejarah bangsanya sendiri.
  12. Kritikan keras terhadap hakim MK periode ini juga datang dari Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Sodik Mudjahid, yang menyayangkan putusan MK yang menolak seluruhnya permohonan uji materi terkait perluasan pasal perzinahan, perkosaan dan pencabulan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).  Ia menilai MK tidak Pancasilais, tapi sekuler.
  13. Salah satu anak kandung reformasi itu adalah MK. Reformasi dulu membayangkan MK itu diisi oleh orang-orang yang berkategori negarawan. Tapi, bayangan itu akhir-akhir ini semakin jauh dari harapan untuk bisa disebut sebagai begarawan. Kalau dulu MPR RI dikatakan sebagai politisi yang sarat kepentingan politik yang berakibat dipangkas kewenangannya. Apakah akhirnya hakim-hakim MK sekarang ini sarat kepentingan juga?
  14. Mungkin publik gagal paham, termasuk saya. Sebagai salah seorang aktivis mahasiswa (sebagai Ketua DPP IMM) yang terlibat langsung dalam era reformasi itu, mungkin saya juga gagal paham memahami negarawan sebagai figur yang bebas kepentingan politik. Ada yang berpandangan, bebas parpol iya, tapi apakah bebas kepentingan politik dan ideologi? Apakah seseorang bisa bebas sama sekali dari ideologi dan latar belakangnya? Menurut pandangan ini, banyak tokoh yang mengaku independen karena aktif di LSM tertentu, misalnya, tapi adalah kader ‘kiri’ yang parpolnya tidak berhasil memenangkan pemilu. Karenanya mereka mengambil strategi “memutar” dengan membentuk LSM dengan tujuan meraih kekuasaan. Mereka ini aktif menjadi anggota pansel-pansel yang memilih anggota-anggota Komisi Negara. Pada saat yang sama mereka mengopinikan independensi dengan menyerang figur-figur Islam dengan isu kedekatan dengan parpol dan kelompok intoleran. Strategi mereka mulai berhasil, sehingga sekarang mereka banyak mengisi komisi-komisi negara dan masuk ke jantung kekuasaan dengan mengerek bendera independensi. Target berikutnya adalah dunia peradilan yang belum sepenuhnya dikuasai.
  15. Sebaiknya yang mulia hakim MK berkenan menjawab secara jujur beberapa pertanyaan publik: apakah hakim MK bermazhab HAM liberal? Bagamaimana sikap hakim MK soal LGBT? Kenapa hakim MK kurang sensitif menyelami keadilan publik? Kenapa hakim MK merasa serba bisa, tapi tidak bisa merasa? Apakah hakim MK gagal paham dengan sejarah bangsanya sendiri? Apakah hakim MK tidak Pancasilais? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Hakim MK sebetulmya tidak perlu menjawabnya secara verbal. Yang dibutuhkan publik, hakim MK cukup menjawabnya dengan kinerja dan kenegarawanan. Ada baiknya hakim MK sekarang melakukan muhasabah sebelum terlambat. Semoga modalitas sosial hakim MK sekarang tidak semakin tergerus.
  16. Dalih yang sering didalilkan oleh MK adalah bahwa MK merupakan negative legislator, meski 4 hakim MK mendorong lahirnya tafsir baru terhadap perzinaan diluar hukum kolonial yakni mencakup adultery dan fornication ( yakni pelaku bisa dipidana meski hubungan tersebut suka sama suka dengan lawan jenis atau sesama jenis dan tidak dilaporkan salah satu pihak sebab mencerminkan nilai agama dan adat).
  17. Namun publik (mungkin) masih tersisa sedikit keyakinan. Semoga saja penolakan hakim MK itu bukan karena ideologi HAM yang liberal, tapi betul-betul lebih pada mereka menyerahkan agar perubahan norma hukumnya diserahkan pada Presiden DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk UU ( positive legislator). Tinggal sekarang bagaimana publik berakal sehat mau dan sungguh-sungguh mengawal proses pembahasan KUHP terkait pasal tersebut. Menurut informasi yang saya yakini, sampai sekarang masih pending putusannya di Komisi 3, dengan peta politik 7 fraksi setuju pelaku hubungan di luar nikah dan LGBT dipidana dan 3 fraksi lain menolak. Sementara yang konsisten mengawal (penolakan) justru kelompok LSM tertentu.
  18. Ada beberapa pilihan bagi publik pemohon pasca keputusan MK itu. Satu, karena dipandang ada kebutuhan yang memaksa, meminta yang mulia Presiden Jokowi mengambil inisiatif menerbitkan Perppu menjawab keinginan publik pemohon. Kedua, mendesak DPR menunaikan mandatnya mengajukan hak inisiatif berupa revisi terbatas terhadap beberapa pasal KUHP seperti yang diajukan publik pemohon. Inisiatif revisi terbatas ini dipandang mendesak dan bisa menjawab harapan publik pemohon. Ketiga, mendesak DPR RI mempercepat pengesahan RUU KUHP yang baru (yang diajukan sejak 1963) dengan memasukkan norma-norma yang diajukan publik pemohon itu dalam RUU KUHP yang baru tersebut.
  19. Publik sungguh-sungguh memahami bahwa ikhtiar tersebut tidak mudah. Ini adalah pertarungan ideologi Pancasila dan ideologi sekuler-liberal. RI