JAKARTASATU– Semakin kita melihat secara dekat kehidupan berbangsa dan bernegara di berbagai belahan dunia, semakin kita dapati betapa gap (jurang pemisah) antara pemerintah dan rakyat sangat besar. Terkadang apa yang dilakukan oleh pemerintah, bahkan atas nama kepentingan rakyat sekalipun, tidak selamanya mencerminkan kehendak rakyat mayoritasnya. Dan ini bahkan terjadi di negara-negara di mana demokrasi menjadi (bagaikan) “petunjuk suci” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Amerika Serikat misalnya adalah negara yang diakui oleh banyak kalangan sebagai “Mbah demokrasi liberal modern”. Artinya harusnya semua sikap dan kebijakan pemerintah merupakan cerminan dari keinginan mayoritas rakyak Amerika. Karena sejatinya dalam konsep demokrasi dipahami jika kebijakan negara itu adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kenyataannya tidak selalu demikian.

Gap atau jurang pemisah antara kebijakan pemerintah dan keinginan masyarakat luas boleh bersifat positif, tapi juga negatif bahkan berbahaya.

Lalu apa yang kemudian menentukan sebuah kebijakan publik dapat dikategorikan baik atau buruk? Apakah ada pada keinginan mayoritasnya semata? Atau apa yang dianggap baik oleh pemerintah?

Jawabannya tidak pada salah satunya. Tapi ada pada acuan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Konstitusi dan UUD. Bahwa dalam kehidupan publik, bernegara dan berbangsa, Konstitusi atau UUD menjadi acuan benar tidaknya sikap publik. Baik sikap pemerintah maupun sikap rakyatnya.

Pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya, atau dalam pengambilan keputusan publik dibatasi oleh konstitusi. Di Amerika Serikat ketika presiden ditemukan terbukti melakukan pelanggaran konstitusi maka sang presiden terancam untuk dipecat (impeached). Oleh karenanya konstitusi  tegas menjadi acuan dalam pergerakannya.

Selama kebijakan itu sejalan dengan konstitusi yang ada, bahkan terkadang kurang populer, maka kebijakan itu akan dilihat sebagai kebijakan positif. Hal ini karena sikap publik (masyarakat) belum tentu sikap yang murni. Seringkali terombang ambing oleh emosi yang kerap kali dipertajam oleh kepentingan-kepentingan politik dan media.

Satu contoh yang kami masyarakat Muslim Amerika alami di penghujung tahun 2010 lalu. Saat itu warga Muslim di kota New York ingin mendirikan sebuah Islamic Center sekitar dua blok dari Ground Zero, lokasi gedung kembar WTC dulu ambruk di tahun 2001 lalu. Rencana ini oleh salah seorang kandidat gubernur dari partai Republican, Rick Lazio, dipakainya sebagai alat kampanyenya. Bahwa Islamic Center ini sengaja dibangun oleh komunitas Muslim sebagai simbol kemenangan Islam atas Amerika.

Politisasi isu agama ini dengan serta merta pula dipanas-panasi oleh media yang selama ini memang dikenal anti Islam, seperi NYPost, Fox News, Wall Street, dll. Maka serempak di seluruh kota-kota Amerika tumbuh resistensi. Tentu yang paling kuat menentang rencana itu adalah warga kota New York. 70% lebih warga New York ketika itu menentangnya.

Tetapi saya bolehlah berbangga dengan New York ketika itu. Justeru walikota New York saat itu, salah seorang terkaya dunia, beragama Yahudi pula, Michael Blooberg, justeru dengan gigih mendukung pendirian Islamic Center itu.

Pada bulan Ramadan di tahun 2010 itu sang walikota mengadakan acara buka puasa untuk pemimpin masyarakat Muslim. Saya kebetulan duduk semeja dengan beliau. Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk menanyakan tentang dukungannya.

“Mr. Mayor, what makes you supporting this project to build an Islamic Center near Ground Zero?”,

Sambil tertawa lepas beliau menjawab: “I do not support the project, neither the Muslims. I am defending my value and Constitution”.

Dari jawaban itu kita pahami bahwa pengambil kebijakan dalam tatanan kehidupan publik itu dibatasi oleh batasan-batasan konstitusi. Oleh karenanya sebuah kebijakan selama tidak menyalahi konstitusi, walau kenyataannya tidak populer perlu dilakukan.

Donald Trump dan bangsa Amerika

Yang menjadi masalah kemudian adalah ketika sebuah kebijakan diambil dan bertentangan dengan keduanya. Bertentangan dengan aspirasi masyarakat luas. Tapi juga melanggar UU dan konstitusi yang ada.

Demikianlah sesungguhya yang menjadikan berbagai kebijakan Donald Trump bermasalah. Tidak saja bahwa kebijakan itu selalu berpihak kepada kelompok masyarakat tertentu dan mengindahkan masyarakat yang seringkali berada di posisi mayoritas. Tapi yang paling berbahaya adalah seringkali keputusan itu bertentangan dengan nilai-nilai yang dibanggakan Amerika dan konstitusi yang ditinggikan.

Dalam hal ini mungkin kita diingatkan kembali bahwa terpilihnya Donald Trump itu adalah kecelakaan sistim. Sistim pemilihan presiden Amarika yang tidak sepenuhnya murni demokratis, one man/woman one vote, seperti yang berlaku di banyak negara demokrasi lainnya termasuk Indonesia.

Di Amerika Serikat sistim pemilihan memakai sistim elektoral. Yaitu perhitungan kemenangan secara distrik dalam sebuah negara bagian. Dengan sistim ini terjadi kecelakaan pada pemilu Amerika lalu di mana Donald Trump memperoleh kemenangan elektoral walau secara jumlah suara pemilih Hillary mengungguli Trump sekitar 3 juta suara. Dalam sejarah Amerika ini adalah kemenangan kandidat secara suara terbesar, tapi gagal menjadi presiden karena bukan jumlah suara yang menentukan.

Sejak saat itu pula Donald Trump nampak dalam berbagai kebijakan yang diambilnya melalui “Executive Order” bercirikan dua hal yang paling menonjol. Pertama, mendapat resistensi tinggi dengan demo menentang di mana-mana. Kedua, bahwa kebijakan itu harus paradoks dengan kebijakan yang pernah diambil oleh Barack Obama. Sehingga ada yang memperkirakan bahwa berbagai kebijakan Donald Trump itu menggambarkan “political revenge” atau dendam politik ke Barack Obama. Bahkan oleh sebagian dicurigai sebagai upaya menghilangkan jejak-jejak jasa Barack Obama kepada negara ini.

Tapi yang paling runyam dan berbahaya adalah ketika Donald Trump mengambil kebijakan yang jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi dan nilai-nilai tinggi Amerika. Ambillah sebagai misal kebijakan untuk melarang orang-orang Islam dari 6 negara mayoritas Muslim untuk masuk ke Amerika. Kalau pelarangan ini adalah kebijakan Amerika sebagai negara maka sah-sah saja. Itu adalah haknya. Tetapi ketika pelarangan itu didasari oleh ras dan etnis, apalagi agama dan keyakian maka itu jelas bertentangan dengan konstitusi Amerika yang menjunjung tinggi keadilan untuk semua. Serta bertentangan dengan nilai-nilai non diskriminatif yang dijunjung tinggi oleh Amerika.

Keputusan Donald Trump untuk mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel sekaligus rencana memindahkan kedubes Amerika ke Jerusalem sebagai penguatan pengakuan itu sesungguhnya adalah pelanggaran dan pengkhianatan terhadap Konstitusi dan nilai-nilai mulia Amerika yang dibanggakan itu.

Kenapa demikian?

Tentu banyak alasan. Tapi yang terpenting dari semua itu adalah bahwa ketika kita berbicara tentang konflik maka tentu ada dua pihak yang saling bertabrakan (clash). Dalam hal ini masalah Jerusalem menyangkut dua pihak yang bertikai. Yaitu Palestina dan Israel. Kenyataannya Donald Trump mencampakkan satu pihak dan sepenuhnya memberikan privilege (kelebihan) kepada pihak lain. Inilah kezaliman dan ketidak adilan yang nyata, sekaligus pelanggaran nyata Konstitusi yang menjunjung tinggi “justice for all” (keadilan untuk semua).

Masyarakat Amerika memiliki sikap ragam dalam menyikapi keputusan Donald Trump ini. Bahkan mereka yang mendukung Jerusalem sekalipun sebagai ibukota Israel banyak yang tidak setuju dengan pengumuman sepihak Donald Trump. Karena harusnya penyelesaian Konflik Pakestina Israel, khususnya isu Jerusalem, harus dilakukan melalui negosiasi dengan melibatkan semua pihak yang terkait (stake holder) khususnya Palestina dan Israel sendiri.

Keputusan Donald Trump oleh banyak pihak di Amerika ini diyakini justeru membawa dampak negatif, bahkan mengancam stabilitas keamanan di Timur Tengah bahkan dunia.

Oleh karenanya di tengah emosi dan kemarahan umat, hendaknya juga perlu memilah-milah masalah dan jeli dalam menyikapi. Saya menyadari bahwa di saat kita teruji, pemikiran sehat dan common sense akan terkucilkan oleh rasa emosi dan amarah. Dalam situasi seperti itu kerap kali timbul berbagai retorika yang kurang realistis.

Maka saya ingin ingatkan bahwa keputusan Donald Trump tidak harusnya dilihat sebagai posisi bangsa Amerika secara menyeluruh. Sehingga kemarahan kepada Donald Trump juga seolah kemarahan kepada semua bangsa Amerika, termasuk kurang lebih 12 juta umat Islam di negara ini.

Demikian pula keinginan memboikot produk-produk Amerika. Saya justeru ingin mengusulkan agar yang dikampanyekan bukan boikot produk Amerika. Tapi yang harus dikampanyekan adalah menghadirkan alternatif-alternatif terhadap produk luar dengan menguatkan produk-produk dalam negeri.

McDonald atau KFC tidak akan berkembang di dunia Islam jika rendang atau sayur kangkung telah terkampanyekan sebagai makanan yang lebih lezat, sehat dan terpuji dibandingkan junk food dari Amerika itu. Bahkan harusnya mulai dipikirkan bagaimana makanan-makanan Nusantara itu mampu minimal bersaing dengan makanan-makanan Amerika di dunia internasional, bahkan di Amerika sendiri.

Yang saya juga ingin lihat adalah bagaimana umat Islam di Indonesia dan dunia bisa bersatu untuk menolak transaksi bisnis dengan perusahaan Trump seperti di Emirate, Qatar, Saudi, bahkan Turki.

Atau keberanian mereka yang selama ini memuji Trump di Indonesia untuk memboikot rencana pembangunan resort Trump di Bali dan di Jawa, termasuk yang di Bogor.

Saya hanya khawatir hal ini juga tidak realistis. Imam masjidil haram saja memuji Donald Trump sebagai pahlawan stabilitas, keamanan dan perdamaian. Di Indonesia juga Donald trump pernah dideklarasikan sebagai “highly liked by the Indonesians”.

Bahkan saya juga khawatir bahwa bersamaan dengan retorika boikot yang kita kampanyekan, sikap ketidak jujuran atau (maaf)paradoks nyata terjadi karena kita masih memakai Iphone, WA, FB, Youtube, twitter, IG, dan seterusnya. Bahkan mengkampanyekan boikot produk Amerika, tapi pada saat yang sama jari jemari bergerak sana sini digiring oleh produk Amerika, untuk mengutuk Amerika dan produknya. Piyye toh!

*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation