JAKARTASATU– Ibu-ibu petani Kendeng yang berasal dari Rembang tidak lelahnya menabuh lesung, berjuang menegakkan keadilan atas hak hidup sebagai mereka sebagai petani. Berjuang menjaga ruang produksi pertanian agar ketahanan pangan tetap terjaga.

Berjuang menyelamatkan masa depan anak cucu akan ruang hidup yang sehat. Berjuang menyelamatkan lingkungan dari bahaya kerusakan akibat penambangan batu kapur dan industrialisasi semen di Peg. Kendeng. Berjuang menyelamatkan masa depan anak cucu akan ruang hidup yang sehat. Berjuang menyelamatkan lingkungan dari bahaya kerusakan akibat penambangan batu kapur dan industrialisasi semen di Peg. Kendeng.

Gubernur seharusnya melindungi ruang hidup dan ruang produksi rakyatnya agar tidak musnah, bukan malah sebaliknya ruang hidup dan ruang produksi pertanian dikorbankan untuk melindungi kepentingan segelintir investor. Provinsi Jateng termasuk dalam Provinsi yang menjadi andalan lumbung pangan nasional, sudah SEHARUSNYA segala pembangunan bertitik berat pada peningkatan ruang produksi pertanian bukan malah menciutkannya dengan cara merusak gunung-gunung sebagai sumber mata air. Perjuangan yang panjang dan melelahkan telah ditempuh. Sampai pada keluarnya putusan Mahkamah Agung No. 99 PK/TUN/2016 tgl 5 Okt 2016 atas gugatan warga, yang menyatakan membatalkan izin lingkungan PT. Semen Indonesia No 660.1/17 thn 2012 dan mewajibkan Gubernur Jateng untuk cabut izin lingkungan Keputusan MA tersebut di atas telah berkekuatan tetap, sehingga terhitung sejak 8 Desember 2016 PT. Semen Indonesia sudah tidak memiliki izin lagi dalam berkegiatan produksi di Rembang.

Tetapi Gubernur Jateng melakukan “akrobat hukum” melakukan pembangkangan hukum (obstruction of justice), izin lingkungan itu memang dicabut, namun beliau juga mengeluarkan izin baru pada tanggal 9 November 2017 dengan SK No. 660.1/30 Tahun 2016 yang akhirnya -c- -c- dicabut lagi lewat keputusan yang sarat kepentingan dan tak sesuai aturan hukum lewat SK Gubernur Nomor 660.1/4 Tahun 2017 tanggal 16 Januari 2017.

Keputusan tersebut, Gubernur Jateng malah memerintahkan pihak SI untuk melakukan revisi AMDAL lama & akhirnya pada tanggal -c- -c- 23 Februari 2017 Gubernur akhirnya menerbitkan kembali izin lingkungan untuk PT. SI dengan SK Nomor 660.1/6 tahun 2017 sehingga perusahaan tersebut “berlindung dari izin baru tersebut yang legal tetapi tidak legitimate”. Dalam pertemuan dulur-dulur Kendeng dengan Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Agustus 2016 yang menghasilkan keputusan diadakannya KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) di sepenjang Peg. Kendeng.

Dalam salah satu butir kesepakatan itu, selama proses KLHS berlangsung, tidak boleh ada izin baru keluar. Dari sini kita semua tahu bahwa Gubernur Jateng memang tidak patuh pada perintah Pemimpin Negara Tertinggi yaitu Presiden dan pula telah menginjak-injak supremasi hukum. KLHS yang dibagi dalam 2 tahap telah dan masih berlangsung hingga hari ini. KLHS tahap 1 dikhususkan untuk kabupaten Rembang. Sedangkan tahap 2 menyangkut Kabupaten Pati, Blora, Grobogan, Tuban, Lamongan dan Bojonegoro.

Hasil KLHS tahap 1 telah keluar dan diumumkan secara resmi oleh lembaga kepresidenan (KSP) pada tanggal 12 April 2017 yang intinya adalah sebagai berikut:

  1. Merekomendasikan kepada kepala daerah propinsi dan kabupaten untuk mengintegrasikan rancangan tata ruang wilayah baik kabupaten maupun provinsi dengan RTRW Nasional 2008.
  2. Bahwa wilayah CAT Watuputih sebagai kawasan lindung geologis sehingga tidak memungkinkan untuk ditambang
  3. Melakukan audit lingkungan kepada 22 perusahaan penambangan batu kapur lainnya yang telah memiliki izin usaha pertambangan di kawasan CAT Watuputih.
  4. Tidak boleh ada izin baru keluar Berpijak dari hasil KLHS tahap 1 di atas, kami ibu-ibu Kendeng akan terus menabuh lesung hingga Gubernur Jateng melaksanakan semua keputusan di atas dalam perintah tertulis kepada semua dinas dan instansi terkait.

Gubernur dipilih oleh rakyat secara langsung dan mengemban amanat rakyatnya. Gubernur dipilih untuk menyelesaikan berbagai persoalan rakyatnya, bukan hanya lempar masalah kesana kemari. Jangan mengombang-ambingkan rakyat hanya untuk melindungi kepentingan segelintir orang/kelompok. Seperti jargon saat kampanye, “partainya wong cilik”, tetapi saat mayoritas wong cilik/ kaum marhaen menjerit minta tolong malah “sembunyi”.

Belum lama kemarin, pada 16 Desember 2017 lalu, dalam Rakornas 3 Pilar PDIP, Presiden Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla, Ketum PDIP Megawati dan mantan Presiden BJ. Habibie Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri membuka acara dengan menumbuk lesung. Akan tetapi, partai yang memiliki jargon sebagai partai “wong cilik” itu entah mengapa seakan diam saja ketika kadernya mengingkari janjinya pada Ibu-Ibu Kendeng dan ketika ibu-ibu Kendeng melakukan aksi lesungan di depan istana, PDIP maupun kadernya tak satupun peduli.

Hari ini Ibu-Ibu dari Rembang kembali memukul lesung di depan Gubernuran untuk mengingatkan PDIP dan Kader nya agar memegang omongannya sebagai partai “wong cilik”. Rakyat memperjuangkan ruang hidupnya karena sadar atas fakta bahwa alam harus dijaga agar lestari dan masa depan anak cucu terjamin. Aturan itu dibuat bukan untuk mencederai keadilan dan kemanusiaan tetapi untuk kebaikkan dan kemaslahatan hajat hidup orang banyak. Jadi sebagai pemimpin yang dipercaya oleh mayoritas rakyatnya yang petani, sudah seharusnya menghasilkan kebijakkan yang pro pada petani. Sebagai ibu yang berjuang di garis depan karena kami sadar ketika alam hancur, ketika tanah-tanah subur ludes, ketika sumber-sumber air musnah, kamilah yang pertama akan menangis dan menderita. Bagaimana kami bisa mengayomi anak-anak yang lahir dari buah rahim kami mendapat kecukupan akan pangan dan terjamin masa depannya jika ruang produksi kami lenyap/rusak. Dan bagaimana ketahanan negara tercipta jika “negara kecil” yaitu keluarga hancur akibat sumber kehidupan hancur.

Pertanian tidak sekedar bercocok tanam, tetapi lebih dari itu pertanian adalah kebudayaan. Peradaban akan hancur jika pertanian hancur.

* Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK)