JAKARTASATU– Sepanjang tahun 2017 ini saya menilai hukum semakin menjadi alat kekuasaan, sehingga akhirnya gagal memenuhi tuntutan keadilan. Ini adalah kesimpulan saya sebagai Catatan Akhir Tahun 2017 dalam bidang Hukum.

Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan ini tercantum jelas pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Ingat, ini adalah pasal pertama konstitusi kita. Jadi, penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), disebut di bagian paling awal konstitusi, sesudah konstitusi kita menegaskan soal bentuk negara dan pentingnya kedaulatan rakyat. Ini menunjukkan desain konstitusi kita tak menghendaki Indonesia menjadi negara kekuasaan. Kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasarkan hukum.

Sayangnya, sepanjang 2017 saya memperhatikan negara kita justru makin bergerak ke arah negara kekuasaan. Pemerintah telah menjadikan hukum sebagai instrumen kekuasaan, bukan instrumen menegakkan keadilan. Berbagai survei tentang kinerja pemerintahan Jokowi, misalnya, selalu menempatkan hukum, selain ekonomi, sebagai sumber utama ketidakpuasan masyarakat.

Bahaya sekali jika hukum dijadikan alat kekuasaan, karena hal ini akan menjatuhkan wibawa hukum di hadapan masyarakat. Pemerintah seharusnya menyadari jika keadilan hukum merupakan salah satu alat untuk menciptakan stabilitas dan kohesi sosial. Itu sebabnya pemerintah tak boleh melakukan politisasi hukum. Adanya standar ganda dalam bidang penegakkan hukum bisa mengancam kohesi sosial dan melonggarkan tenun kebangsaan.

Tapi kita bisa menyaksikan, batas api (fire line) itu telah banyak dilanggar oleh pemerintah sepanjang tahun ini. Di satu sisi, kita melihat dengan jelas adanya pengistimewaan hukum yang luar biasa terhadap para sekutu pemerintah, dan di sisi lain ada upaya kriminalisasi terhadap lawan-lawan politik pemerintah.

Coba lihat kasus Saudara Basuki Tjahaja Purnama. Mulai dari sejak terdakwa, hingga kini menjadi terpidana, dirinya selalu mendapatkan pengistimewaan hukum. Saat yang bersangkutan masih menjadi terdakwa, misalnya, sebenarnya sesuai ketentuan UU No. 23/2014 Pasal 83, seorang kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa di pengadilan harus diberhentikan sementara, tanpa perlu usulan dari DPRD.

Tapi kita sudah menyaksikan bagaimana pemerintah, melalui Mendagri, tak pernah mengeksekusi ketentuan ini. Mendagri beralasan jika dia perlu mendengar tuntutan jaksa terlebih dulu, apakah nanti tuntutannya lima tahun, atau kurang dari itu. Jika kurang dari lima tahun, maka Saudara Basuki tak perlu diberhentikan sementara.

Padahal, Gubernur Sumut Syamsul Arifin dulu disidangkan perdana tanggal 14 Maret 2011. Pada 21 Maret 2011 Keppres pemberhentian sementaranya sudah diteken Presiden SBY. Begitu juga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Ia disidang perdana 6 Mei 2014, dan pada 12 Mei 2014 Keppres pemberhentian sementaranya juga segera diterbitkan Presiden SBY. Atau, coba lihat kasus Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho dulu. Bahkan meskipun yang bersangkutan belum berstatus terdakwa, pemerintah segera memberhentikannya secara sementara pada Agustus 2015. Ini adalah bukti jika pemerintah telah mempermainkan hukum, melalui tafsir yang diskriminatif, hanya demi membela kepentingan sekutunya.

Lalu lihat kini sesudah Basuki (Ahok) menjadi terpidana. Apakah seorang narapidana boleh ditempatkan di Rutan? Sesuai aturan, karena terbatasnya jumlah Rutan di Indonesia, yang boleh dilakukan sebenarnya hanyalah menjadikan Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) sebagai Rutan (Rumah Tahanan), dan bukan sebaliknya. Jika ada kondisi tertentu yang mengharuskan seorang terpidana perlu dipindahkan dari sebuah Lapas, yang bersangkutan hanya bisa dipindahkan dari satu Lapas ke Lapas lainnya, dan bukan dipindah dari Lapas ke Rutan.

Tapi kenapa aturan tersebut tak berlaku untuk terpidana Basuki (Ahok) ?! Inilah salah satu noda hitam dalam penegakkan hukum sepanjang tahun 2017.

Noda hitam lainnya adalah upaya kriminalisasi terhadap lawan-lawan politik pemerintah, apakah dengan tuduhan penyebar hoax, hate speech, dan sebagainya. Perlakuan diskriminatif dan upaya kriminalisasi itu bisa kita lihat dari perlakuan penegak hukum dalam menggunakan pasal yang ada di Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ITE kerap digunakan untuk menekan mereka yang berseberangan dengan pemerintah.

Coba catat siapa saja yang menjadi tersangka dengan delik-delik tadi?! Pada tahun 2017, ada beberapa orang yang pernah dijerat dengan UU ITE, antara lain Rijal, Jamran, Jonru, Faisal Tonong, Ahmad Dhani, Asma Dewi, Buni Yani. Semuanya adalah mereka yang selama ini berbeda haluan politik dengan pemerintah. Tidak ada ‘buzzer istana’ yang pernah diperiksa polisi.

Aparat hukum cepat sekali memproses hukum mereka yang menjadi oposan pemerintah, termasuk para ulama yang kritis, seperti KH Al Khathath, namun publik bisa melihat jika aparat kita hingga kini masih belum menyentuh orang-orang seperti Nathan, Viktor, misalnya. Ini contoh diskriminasi dan tebang pilih yang bisa merusak wibawa hukum. Belum lagi contoh tuduhan makar yang hingga kini tak jelas juntrungannya.

Di sisi lin, kasus Asma Dewi dan Saracen, misalnya, saat awal muncul dulu diekspose bombastis, bahkan ekspose kasus itu menurut saya melampaui fakta-fakta yang telah ditemukan polisi. Nama itu dikaitkan dengan Prabowo dan sebagainya, seolah ini adalah sejenis jaringan iluminasi. Namun, saat persidangan akhir November 2017 kemarin, tak ada lagi kata Saracen dan tuduhan transfer dana yang katanya besar dalam berkas tuntutan jaksa di pengadilan kepada Asma Dewi.

Jadi, siapa sebenarnya yang gemar memproduksi hoax? Bagi saya itu adalah kasus yang memalukan dan mempermalukan aparat penegak hukum sendiri.

Pemerintah seharusnya menyadari bahwa keadilan merupakan hal penting dalam kehidupan bernegara. Bahkan, keadilan hukum merupakan syarat fundamental bagi terwujudnya kesejahteraan. Persoalannya, keadilan hukum ini bisa hilang jika aparat penegak hukum kita bekerja berdasar kepentingan tertentu atau pesanan. Rusak sistem hukum kita.

Aparat penegak hukum seharusnya menjunjung tinggi profesionalisme dan integritas. Karena di pundak merekalah wibawa hukum diletakkan. Semoga catatan hitam dunia hukum di tahun 2017 ini tak berlanjut di tahun depan.

*Fadli Zon, Plt. Ketua DPR RI